Tiga Revolusi di Dunia Ketiga
Tiga Revolusi di Dunia Ketiga
1.
"Sang Surya yang tidak pernah tenggelam": Mao dalam revolusi Cina
REVOLUSI di Cina pada tahun
1949 adalah sebuah peristiwa historis yang penting, terutama untuk gerakan
radikal di dunia ketiga, termasuk Indonesia. Banyak partai Komunis dan kelompok
radikal lainnya yang dilhami oleh teori-teori Mao. Dan "Revolusi
Kebudayaan" tahun 1960-an juga menjadi inspirasi untuk gerakan-gerakan mahasiswa
kiri sampai kini.
Sayangnya
inspirasi ini sangat salah arah. Revolusi yang dipimpin Mao tidak membangun
sebuah masyarakat sosialis di mana kaum pekerja sendiri yang menentukan
kebijakan-kebijakan ekonomi, sosial serta politik. Rezim Maois dikuasai oleh
birokrasi otoriter, dan perekonomian RRC tidak luput dari logika kapitalis,
walaupun perusahaan-perusahaan besar milik negara. Dan akhirnya, setelah Mao
meninggal, RRC yang disebut "sosialis" itu mulai menjelma menjadi
negara yang berekonomi pasar dan semakin mirip dengan negeri-negeri lain.
Itu
bisa terjadi karena pada dasarnya, tujuan-tujuan Mao dan Partai Komunis Cina
bukan untuk membangun sosialisme, melainkan untuk membangun ekonomi nasional
yang kuat. Kaum buruh dan tani berkali-kali menjadi korban dari upaya ini.
*****
Riwayat
Mao dimulai dengan hancurnya gerakan buruh revolusioner Cina. Antara tahun 1925
sampai dengan 1927, kota-kota di Cina mengalami sejumlah pemberontakan buruh
yang dipimpin oleh Partai Komunis muda. Pemogokan massa meledak di Hong Kong
dan laskar buruh yang bersenjata menguasai jalan-jalan kota Guangzhou.
Perjuangan ini mulai di bawah payung gerakan nasionalis, tetapi kemudian
berkembang lebih luas menjadi sebuah "revolusi permanen" yang semakin
berhaluan sosialis. Namun waktu itu aliran komunis internasional (Komintern)
sudah mulai didominasi oleh kebijakan Stalin, bahwa revolusi-revolusi di dunia
ketiga harus melalui dua tahapan. Menurut Stalin, revolusi di Cina harus tetap
dalam perbatasan "revolusi demokratik" saja. Makanya para komunis
Cina disuruh untuk menyerahkan senjata-senjata mereka kepada golongan
nasionalis. Mereka patuh; dan kemudian dibantai oleh golongan nasionalis
tersebut.
Beberapa
satuan komunis di pedesaan bisa bertahan hidup dan mereka berkumpul di pegunungan-pegunungan.
Organisasi komunis di perkotaan hampir lenyap sama sekali. Mao menjadi pimpinan
dan mengembangkan strategi baru dengan poros ke kelas petani. Pada awal tahun
1930-an para komunis berhasil mendirikan sejumlah "pangkalan merah"
di beberapa daerah terpencil. Pemerintah-pemerintah setempat dicap
"soviet-soviet", walaupun tidak mirip sama sekali dengan soviet
(dewan buruh) demokratis yang muncul waktu revolusi Rusia.
"Soviet-soviet" Mao merupakan sebuah kediktatoran militer oleh para
tentara komunis, yang memang agak baik hati terhadap kaum tani. Namun ini jauh
dari demokrasi revolusioner dalam artian Marxis.
Pangkalan
itu diserang lima kali oleh pasukan pemerintah nasionalis, sampai akhirnya para
komunis terpaksa harus mundur dari daerah-daerah ini, dengan menempuh
perjalanan panjang Long March ke daerah Yenan.
Pada
tahun 1931 Jepang menginvasi Cina, dan pemerintah nasionalis yang korup tidak
mampu melawan, sehingga kota-kota utama diduduki Jepang. Seusai perjalanan Long
March, Mao mennaikan semboyan perlawanan terhadap pendudukan itu. Begitu Jepang
kalah dalam perang di kawasan Pasifik dan mulai menarik pasukan dari Cina,
tentara komunis bisa mengalahkan tentara Jepang, kemudian merebut kota demi
kota dari tangan kaum nasionalis. Pada tahun 1949, Mao dan Partai Komunis sudah
menguasai negeri Cina. Kata Mao: "Cina telah bangkit!"
*****
Tetapi
siapa yang bangkit? Bukan kelas buruh, dan bukan para penduduk urban pada
umumnya. Seperti dipaparkan oleh John Molyneux dalam Mana Tradisi Marxis Yang
Sejati?:
"Mao
masih mengucapkan sentimen-sentimen tentang ‘peranan pemimpin kaum proletarian’
yang akan membimbing kelas petani. Tetapi sebetulnya, proletariat tidak
berperan sama sekali dalam revolusi tahun 1949. Mao bahkan menulis pada tahun
itu: ‘Diharap supaya semua buruh dan karyawan di semua bidang akan bekerja
terus dan semua perusahaan akan berjalan seperti biasa.’ Maka ‘kepemimpinan
proletarian’ hanya bisa berarti kepemimpinan Partai Komunis. Mengingat bahwa
jumlah buruh yang ikut partai tersebut hanya sedikit saja, maka ‘pimpinan
proletarian hanya berarti "ideologi proletarian", yang sebenarnya
merupakan program Stalinis."
Revolusi
tahun 1949 biasanya dimengerti sebagai sebuah revolusi petani. Namun bagaimana
hubungannya antara kepemimpinan Partai Komunis dan kaum tani dalam sebuah
perang gerilya? John Molyneux berargumentasi lebih lanjut:
"Tentara
gerilya akan terdiri hampir 100 persen atas orang yang berlatarbelakang petani,
namun hanya sebuah minoritias kecil dari kelas petani yang akan ikut berperang.
Tentara Mao berjumlah beberapa juta – tetapi itu hanya persentase kecil dari
500 juta petani Cina. Hal ini tidak terhindarkan dalam perang gerilya yang
menggunakan taktik 'tabrak lari', dengan pasukan yang selalu berpindah-pindah
tempat…"
Sehingga
tentara gerilya tidak betul-betul bergabung dengan massa petani dan
mentalitasnya menjadi elitis:
"Mentalitas
elitis ini sangat menyolok pula dalam perintah-perintah yang diberikan oleh Mao
kepada pasukan gerilyawan dalam pergaulan mereka dengan kelas petani:
‘Sopan-santunlah! Tolong mereka sedapat mungkin. Semua benda yang dipinjam
harus dikembalikan … Semua benda yang dibeli harus dibayar.’ Perintah-perintah
ini membuktikan betapa timpangnya hubungan antara kaum prajurit dan kaum tani.
Perintah-perintah tersebut memang sangat diperlukan, karena kondisi-kondisi
obyektif senantiasa menggoda para prajurit untuk menghisap dan menindas kaum
tani. Sedangkan situasi kelas buruh jauh berbeda. Sulit sekali dibayangkan
sebuah organisasi buruh revolusioner yang harus memperingatkan kader-kadernya
agar ‘jangan merampok kaum buruh di depan gerbang pabrik’."
Sebenarnya
revolusi Maois adalah sebuah revolusi militer-birokratis yang berhaluan
nasionalis bukan Marxis. Mao sendiri mengungkapkan pada bulan Juli 1949 bahwa
"kebijakan kita kini adalah untuk mengatur kapitalisme, bukan untuk
membinasakannya." Beberapa tahun kemudian, dihadapan tekanan imperialisme
barat, Mao memang menjalankan perubahan-perubahan yang tampknya
"sosialis" dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan besar. Tetapi
para manajer lama sering menjadi manajer dalam sistem baru, sedangkan kaum
buruh tidak ikut mengurus tempat-tempat kerja. Di pedesaan, kaum tani mengalami
nasib yang mirip. Pada hakekatnya rezim ini lebih patut disebut kapitalis
negara, karena rakyat pekerja tidak terlibat sama sekali dalam pemerintahan.
*****
Mula-mula
pola pembangunan industri di Cina berlangsung menurut model klasik stalinistis
yang diterapkan oleh Stalin sendiri pada tahun 1930-an di Uni Soviet. Namun
hasil dari pola ini tidak memuaskan kaum penguasa. Walau ekonomi Cina bertumbah
pesat, akan tetapi ekonomi-ekonomi barat sedang boom waktu itu, sehingga Cina
semakin ketinggalan. Oleh karena itu, rezim menerapkan sebuah kebijakan yang
nekad untuk mengejar ketinggalannya, dengan meningkatkan laju eksploitasi
terhadap kaum buruh dan tani. Dalam "Lompatan Besar" tahun 1958-1960,
rezim menentukan target-target produksi yang ekstrim, dan mengadakan
"kampanye-kampanye massa" guna memaksa rakyat pekerja untuk membanting
tulang dalam upaya mencapai target-target tersebut. Meskipun para buruh dan
tani bekerja sampai kehabisan tenaga, hasilnya belum juga memadai; lantas para
pimpinan perusahaan berbohong dan memalsukan data-data produksi.
Akibatnya
parah sekali, terutama di pedesaan di mana kaum tani dipaksa untuk masuk
komune-komune besar. Komune-komune tersebut digembar-gemborkan sebegai
"langkah ke arah komunisme". Sebenarnya sangat mirip dengan
"komunisme barak" otoriter yang dikutuk Marx. Hasil panen amat
mengecewakan, sampai pada tahun 1961 terjadi paceklik di beberapa daerah dan
pemberontakan bersenjata meledak di dua propinsi. Akhirnya pemerintah kalah.
"Lompatan Besar" dihentikan, dan kaum tani diajak untuk menjalankan
produksi swasta. Mao agak tersisih, dan orang lain menentukan kebijakan
ekonomi. Hasil-hasil panen mulai naik lagi, tetapi jurang pemisah antara petani
kaya dan petani miskin mulai meningkat pula.
Mao
sendiri belum juga kapok. Pada tahun 1965 dia memobilisasi para pendukungnya di
bawah panji "Revolusi Kebudayaan". Sekali lagi, "revolusi"
tersebut didengungkan sebagai perjuangan "komunis". Sebenarnya Mao
hanya ingin menghantam musuh-musuhnya dalam kelas penguasa. Di ibukota Beijing
upaya itu berhasil tanpa kekisruhan. Namun di daerah-daerah Mao harus memicu
konflik-konflik, dan "Garda Merah" (kelompok-kelompok Maois) turun ke
jalan untuk meyerang pihak yang berwenang.
Suasana
"revolusioner" memang berkembang di beberapa daerah, karena pihak
yang berwenang itu sangat dibenci oleh rakyat. Garda Merah yang terdiri atas
pelajar-pelajar menghina bahkan menganiaya para pejabat lokal. Namun kampanye
ini dengan cepat sekali melampaui segala batasan. Guru-guru juga dianiaya, dan
musium-musium dibakar karena dianggap kebarat-baratan dan dekaden.
Kejadian-kejadian ini disertai oleh pengkultusan terhadap Mao sebagai
"Sang Surya yang tidak pernah tenggelam". Seperti diungkapkan dalam
sebuah perintah kepada para anggota angkatan laut: "Kita harus mematuhi
instruksi-instruksi Ketua Mao, bahkan jika instruksi itu tidak kita
mengerti."
*****
Akhirnya
Mao semakin kehilangan kontrol atas kekisruhan yang disebabkan oleh Revolusi
Kebudayaan itu. Para birokrat di daerah-daerah yang merasa terancam membalas
dengan mengerahkan "Garda-Garda Merah" sendiri, sampai kelompok-kelompok
pelajar saling berhantaman dimana-mana, dan kelas penguasa semakin khawatir
bahwa sebuah perang sipil bisa meletus. Lebih parah lagi (di mata mereka),
kelas buruh mulai bergerak secara indepen dengan sebuah gelombang aksi mogok.
Kemudian muncul satu kelompok yang bersifat Marxis dalam artian aslinya.
Kelompok Sheng Wu Lien mengembangkan sebuah analis kritis bahwa rezim Mao bukan
sosialis. Dalam sebuah manifesto yang berjudul "Cina Mau Kemana?"
mereka berargumentasi bahwa "kontradiksi-kontradiksi sosial yang telah
menimbulkan Revolusi Kebudayaan adalah kontradiksi antara kekuasaan borjuasi
birokratis baru dengan massa rakyat", sehingga "masyarakat
membutuhkan perubahan yang lebih mendasar … [kita harus] menumbangkan borjuasi
birokratis dengan menghapuskan aparatus negara lama, dan menjalankan revolusi
sosial serta menerapkan tatanan sosial baru…"
Kaum
penguasa meresponnya dengan represi kejam. Pemuda-pemudi dibuang ke
daerah-daerah terpencil dalam jumlah besar untuk menghancurkan Garda Merah.
Ratusan ribu rakyat dibantai di propinsi Guangxi dan beberapa tempat lainnya.
Represi itu terjadi atas perintah Mao sendiri, tetapi tahap terakhir Revolusi
Kebudayaan ini juga merupakan kekalahan besar buat Mao dan para Maois.
Setelah
Mao meninggal, para pendukungnya (termasuk istrinya ) ditangkap dan dihukum.
Dan kebijakan ekonomi pemerintah makin lama makin membuka jalan untuk mekanisme
pasar, sehingga Cina mulai menempuh "jalan kapitalis" yang selalu
dikhawatirkan Mao. Sekali lagi ekonomi pulih kembali; tetapi sekali lagi jurang
pemisah antara si miskin dan si kaya menjadi semakin besar. Unsur-unsur sosial
yang sama tetap menjadi kelas penguasa, terutama para pejabat partai, negara
dan industri. Kelas buruh dan kelas petani terus menjadi kelas tertindas.
Sebenarnya, kebijakan pro-pasar ini tidak berarti sebuah peralihan ke
kapitalisme. Kapitalisme sudah ada di Cina dari dulu, dalam bentuk kapitalisme
negara. Hanya itulah yang dibangun oleh Mao.
2.
Revolusi dan kontra-revolusi di Iran
REZIM
SYAH ditumbangkan pada bulan Januari 1977 sebagai akibat perjuangan massa
rakyat, terutama pemogokan umum kaum buruh. Selama beberapa waktu, rakyat Iran
berharap akan masa depan yang lebih cerah. Namun adegan revolusioner ini
berakhir dengan kediktatoran baru yang dikuasai oleh unsur-unsur
Islamis—reaksioner. Kenapa ini bisa terjadi?
Gerakan
liberal-nasionalis pimpinan Mohammed Mossadegh menang pemilu tahun 1951.
Pemerintah Mossadegh itu menasionalisasi perusahan-perusahaan minyak tanah.
Namun Mossadegh ditumbangkan oleh pihak militer dengan bantuan CIA. Kemudian
timbul sebuah rezim militer yang dikepalai oleh Syah, disokong oleh polisi
rahasia yang kejam bernama Savak. Profit dari industri minyak tanah mengalir
terus, tetapi sampai tahun 1960-an rakyat tidak mendapatkan untungnya. Sebagian
besar rakyat tetap buta huruf, dan dinas-dinas kesehatan tetap primitif.
Pada
awal tahun 1960-an terjadi krisis ekonomi dan sosial yang disertai beberapa
aksi mogok dan demonstrasi. Syah meresponnya dengan menluncurkan "Revolusi
Putih" guna membentuk kembali struktur industri Iran. Program pembangunan
baru ini menguntungkan dua golongan sosial: para petani kaya dan pegawai
negeri. Yang merugi adalah kelas menengah tradisional: para pedagang di pasaran
yang merasa terancam oleh perkembangan kapitalisme moderen. Pada tahun 1970-an
kaum pedagang ini, bersama para ulama yang mewakili mereka, menjadi salah-satu
golongan oposisi terhadap rezim Syah.
Di
saat yang sama, sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi yang pesat, kelas buruh
semakin besar dan militan, terutama di industri minyak tanah.
Pada
tahun 1975, "rezeki minyak" selesai. Harga minyak tanah anjlok dan
ekonomi Iran terjeremus ke dalam krisis tajam. Harga-harga bahan pokok
melangit. Akibatnya, oposisi terhadap pemerintah semakin meningkat dengan
semakin banyaknya aksi unjuk rasa dan mogok. Mulai bulan September 1978, sebuah
gerakan buruh yang massal menggoncangkan rezim.
Mulai
dengan tuntutan normatif, kaum buruh semakin beralih ke tuntutan politik
seperti kebebasan berserikat, dihilangkannya intel-intel Savak dari
perusahaan-perusahaan, dan pembebasan tapol. Mereka berbondong-bondong ke
pusat-pusat kota dan berdemonstrasi secara besar-besaran. Kaum buruh minyak
tanah menghentikkan produksi sebagai protes terhadap hubungan Syah dengan rezim
apartheid di Afrika Selatan, sedangkan buruh kerata api menolak mengangkut
polisi dan militer. Gerakan mulai menuntut partisipasi kelas buruh secara
langsung dalam pemerintahan, dan sejumlah majikan melarikan diri keluar negeri.
Panitia-panitia demokratis yang dipilih oleh para pekerja mengambil alih
percencanaan produksi.
Pada
tanggal 16 January 1979 Syah akhirnya lari keluar negeri. Jutaan rakyat
berpeluk-pelukan di jalanan. Para jenderal kehilangan kontrol atas
prajurit-prajurit sehingga harus bersikap netral terhadap pemberontakan itu.
Mereka bernegosiasi dengan Ayatollah Khomeini, pemimpin utama oposisi Islamis,
yang baru kembali ke Iran saat itu.
Kemudian
kelompok gerilyawan Mojahidin dan Fedayin serta unsur-unsur dari militer
menyerang dan mengalahkan pasukan-pasukan yang masih loyal terhadap Syah. Para
ulama berusaha melarang serangan itu dengan argumentasi bahwa "belum
saatnya" dan belum ada perintah dari Ayatollah Khomeini. Tetapi mereka
tidak dihiraukan.
Khomeini
menyatakan diri sebagai kepala negara, tetapi kekuasaan yang sebenarnya belum
dipegangnya. Dewan-dewan (syura-syura) demokratis bermunculan dimana-mana:
dewan buruh, dewan mahasiswa, dewan-dewan petani dsb. Kaum buruh menduduki
pabrik-pabrik, sedangkan kaum tani mengambil alih tanah dari tuan-tuan tanah.
Sehingga timbullah sebuah situasi "dualisme kekuasaan".
****
Keadaan
"dualisme kekuasaan" semacam ini tidak stabil dan tidak bisa bertahan
lama. Kalau kelas-kelas tertindas tidak menghancurkan aparatus negara lama dan
menjalankan pemerintahan revolusioner, kekuataan-kekuataan reaksioner akan
menghancurkan gerakan revolusi. Makanya faktor-faktor politik menjadi sangat
penting.
Di
Iran saat itu ada tiga macam organisasi politik oposisi. Yang pertama
nasionalis-borjuis, yang kedua agamis, yang ketiga sayap kiri.
Kelompok
nasional-borjuis berusaha untuk memperjuangkan solusi demokratik-liberal, tetapi
mereka terjepit antara kekuatan-kekuatan lain. Kelompok-kelompok Islamis,
dipimpin oleh Khomeini, ingin menerapkan negara Islam. Tetapi ada juga
alternatif kiri, yang seharusnya menarik dukungan massa rakyat, tertuma kelas
buruh. Karena buruh dan rakyat telah membangun organ-organ independen. Selain
itu ada sejumlah minoritas non-Muslim yang tertindas.
Ketiga
kelompok kiri utama adalah Partai Tudeh (pro-Soviet) serta dua kelompok
gerilyawan: kaum Mojahedin (pecahan dari golongan nasionalis) dan kaum Fedayin
(pecahan dari Partai Tudeh). Ketiga-tiganya berpendapat bahwa revolusi di Iran
waktu itu bukan revolusi sosialis melainkan harus melalui tahap "revolusi
demokrasi" dulu. Partai Tudeh seperti semua Partai Komunis
"resmi" sudah bukan revolusioner lagi dan sering berkoalisi dengan
kaum nasionalis. Kedua kelompok gerilyawan benar-benar merupakan organisasi
revolusioner dan berani sekali, sayangnya akibat strategi perang gerilya mereka
terisolasi dari massa buruh di kota-kota sehingga massa rakyat di perkotaan
lebih dipengaruhi oleh para ulama.
Di
antara para ulama memang ada unsur-unsur yang sangat progresif, misalnya Ali
Shariati yang tampil sebagai penganut teologi pembebasan. Setelah wafatnya Ali
Shariati, sejumlah pemimpin Islam lain terutama Ayatollah Khomeini pura-pura
mendukung tujuan yang sama. Namun pada dasarnya mereka mewakili kelas menengah
tradisional di pasaran, yang agak reaksioner.
Pada
tanggal 1 Mei 1979 kaum buruh mengadakan demonstrasi massa dengan satu setengah
juta peserta di jalanan ibukota Tehran. Mereka mennaikkan tuntuntan seperti
"Nasionalisasi seluruh industri!", "Ganyang imperialisme!",
dan "Persamaan hak untuk perempuan dan laki-laki!" Demonstrasi itu
amat mengesankan, tetapi di beberapa tempat para peserta diserang oleh kelompok-kelompok
ekstrim kanan. Golongan reaksioner sudah mulai mengerahkan tenaganya. Di saat
yang sama, Partai Republik Islam menyelenggarkan sebuah rally terpisah dengan
slogan anti-komunis dan himbauan agar kaum buruh bekerja lebih keras.
Tragisnya
kaum Mojehadin tidak ikut demonstrasi buruh karena tidak mau dituduh
"anti-Islam". Mereka mengambil sikap yang mendua dengan berteriak
"Dukung dewan-dewan buruh!" sekaligus berteriak "Dukung
Khomeini!".
Kejadian
tanggal 1 Mei ini menunjukkan potensi revolusioner gerakan buruh, tetapi di
saat yang sama menunjukkan ancaman dari sayap kanan dan kebingungan kelompok
Mojahedin.
Sudah
sebelum bulan Mei rezim Khomeini mulai menyerang gerakan-gerakan progresif.
Semua perempuan disuruh memakai kerudung. Ketika kaum perempuan merayakan Hari
Internasional Perempuan (International Women’s Day) mereka dipukul bahkan
ditembaki oleh garda Muslim "Pasdaran". Kelompok reaksioner itu
menyerbu toko buku pula dan membakar buku-buku, sedangkan markas-markas
kelompok kiri digerebeg. Kemudian rezim mengadakan sebuah referendum yang
diwarnai intimidasi dan kecurangan untuk menerapkan negara Islam.
Meskipun
demikian, kelas buruh dan gerakan-gerakan radikal dan progresif tetap cukup
kuat. Banyak tempat kerja yang masih dikuasai kaum buruh. Kaum tani mengambil
alih tanah, sedangkan kaum perempuan dan tunakarya berdemo di jalanan. Rezim
Khomeini mulai mencari akal untuk melemahkan perjuangan-perjuangan itu.
****
Pada
tanggal 4 November 1979 sekelompok mahasiswa dengan dukungan Khomeini menduduki
kedubes Amerika Serikat di Tehran. Semua kelompok kiri menyambut siasat
Khomeini itu dengan antusias. AS memang telah mendukung Syah dan berperan
reaksioner di Timur Tengah pada umumnya, dan imperialisme AS patut ditentang.
Tetapi gerakan kiri revolusioner harus selalu menjaga independensinya dari
rezim-rezim borjuis. Hal ini terlupakan oleh orang-orang kiri waktu itu. Kenapa
itu bisa terjadi? Karena Partai Tudeh adalah sebuah partai Stalinis. Sedangkan
kelompok Mojahedin dan kelompok Fedayin, yang betul-betul revolusioner, tidak
punya hubungan organik denga kelas buruh. Selain itu, ketiga-tiganya mempunyai
teori bahwa revolusi di Iran masih sedang melalui tahap "revolusi
demokrasi" dan belum menjadi revolusi sosialis. Makanya mereka semua
mencari aliansi dengan unsur-unsur borjuis yang dianggap demokratik atau
anti-imperialis, sehingga mereka bisa tersedot ke dalam suasana
nasionalis-religius dan fanatik yang dipicu oleh Khomeini.
Berdasarkan
konsensus nasionalis-religius ini Khomeini berhasil memapankan lembaga-lembaga
negara Islam yang semakin konservatif. Dewan-dewan di pabrik-pabrik dibubarkan.
Kaum perempuan kehilangan sebagian besar dari hak mereka. Kelompok-kelompok
kiri terpecah-belah.
Dalam
revolusi di Iran kita meyaksikan potensi kelas buruh untuk menumbangkan seorang
tiran, mengambil alih tempat-tempat kerja dan mengambil langkah di arah
sosialisme. Tetapi di saat yang sama, kita melihat akibat tragis dari tidak
adanya partai buruh Marxis revolusioner berbasis massa yang 100 persen
independen dari semua kekuatan borjuis.
3.
Fidel Castro dan revolusi Kuba
DI
MASA pra-revolusi, penyair radikal Carlos Puebla menulis sebuah lagu:
Los
caminos de mi Cuba
Nunca
van a donde deben.
Jalan-jalan
Kubaku
Tak
pernah menuju ke arah yang benar.
Sebagian
besar jutaan rakyat Kuba dan para simpatisan Castro di seluruh dunia pasti
merasa begitu, melihat krisis yang dihadapi pulau tropis ini sejak runtuhnya
Uni Soviet pada awal tahun 1990-an. Kuba mendapati diri terkepung, rakyatnya
harus hidup melarat, dan ekonominya terpaksa membuka diri terhadap pasaran
internasional yang sebelumnya mau ditentang oleh pemimpin utamanya, Fidel
Castro.
Biang
keladi semua kesulitan ini adalah imperialisme Amerika Serikat, yang penasaran
melihat sebuah negeri kecil menantang dominasinya. Sejak tahun 1959, sembilan
presiden AS telah berusaha meremukkan rezim Castro. Setelah gagalnya invasi di
Teluk Babi yang disponsori CIA pada tahun 1961, AS menjalankan boikot ekonomi.
Kuba bisa bertahan dengan bantuan Soviet sampai negara Soviet itu ambruk di
zaman Gorbachev. Tetapi di dasawarsa 1990-an keadaan Kuba menjadi cukup parah.
Kewajiban
utama kaum kiri adalah solidaritas dengan Kuba melawan imperialisme. Namun kita
bisa membela Kuba secara lebih efektif, jika kita mempelajari pengalaman
revolusi di negeri ini dengan saksama dan kritis.
Fidel
Castro, Che Guevara dan para gerilyawan bisa merebut kekuasaan pada tahun 1959
karena kediktatoran Batista ambruk secara kurang-lebih spontan, sehingga
terjadi sebuah kevakuuman politik. "Kaum berewok" (barbudos)
mengambil alih kekuasaan dengan menyangkal bahwa mereka orang kiri atau
komunis. "Revolusi kita bukan berwarna merah melainkan hijau buah
zaitun," kata Castro merujuk ke rona seragam para gerilyawan, dan dia
mengutuk "komunisme dengan konsep-konsepnya yang totalitarian". Dalam
sebuah pidato di universitas Princeton di AS Castro menegaskan bahwa
"Bertentangan dengan pola Revolusi Rusia dan model Marxis, revolusi di
Kuba tidak berdasarkan perjuangan kelas … revolusi ini juga tidak berniat
meniadakan kepemilikan swasta."
Castro
memang telah bercanda, "Coba aku Stalin, aku mau jadi komunis", namun
karya-karyanya sebelum tahun 1960an tidak memuat argumentasi atau kosa kata
Marxis. Waktu mereka merebut kekuasaan, para "brewok" memang hanya
sekelompok aktivis demokratik. Tetapi reform liberal-demokratik tidak gampang
di hadapan kekuataan Amerika.
Ketika
Castro menjalankan beberapa reform agraria yang agak moderat pada tahun 1969,
bantuan finansial Amerika segera dihentikan. Setahun kemudian, ketika Uni
Soviet menawarkan minyak mentah, perusahaan minyak barat seperti Texaco, Shell
dan Esso menolak membersihkannya. Castro menasionalisi fasilitas mereka. AS
melarang impor gula dari Kuba, Kuba membalas dengan mengambil alih lebih banyak
perusahaan AS, kemudian AS menjalankan boikot total terhadap perdagangan Kuba
termasuk makanan dan obat-obatan, dan juga berusaha menumbangkan Kastro dengan
invasi di Teluk Babi.
Kuba
harus menghadapi sebuah pilihan yang dihadapi oleh setiap revolusi. Apakah kaum
revolusioner akan berusaha meluaskan revolusi ke negeri-negeri lain, supaya
kaum imperialis bisa dikalahkan, atau kaum revolusioner akan berupaya untuk
memecahkan masalah-masalah ekonomi, sosial dan politik dalam perbatasan satu
negeri saja.
Mula-mula
Castro dan terutama Che Guevara tampaknya condong ke alternatif yang pertama,
tetapi akibat-akibat orientasi internasionalis ini tidak pernah dipahami mereka
dengan akurat. Panggilan Che untuk menciptakan "banyak Vietnam"
melupakan hal yang paling utama: hanya kelas buruh sedunia mampu untuk
membangun dan mempertahankan sebuah gerakan internasional revolusioner
(contohnya Internasional Komunis muda tahun 1919-23). Che berorientasi ke
pedesaan dan aksi-aksi gerilya, namum gerakan-gerakan tani belum pernah dalam
sejarah mencapai tingkat internasional. Che sendiri gugur secara tragis dalam
upaya ini.
Kaum
pimpinan Kuba lainnya tidak pernah berusaha secara serius untuk membangun
sebuah gerakan internasional, melainkan cukup awal sudah memilih alternatif
yang nampaknya lebih aman, yaitu membangun "sosialisme dalam satu
negeri" dengan bantuan Soviet.
****
Kita
sudah melihat: tekanan imperialis yang mendorong Castro untuk menasionalisasi
industri-industri, dan tekanan imperialis pula yang menyebabkan dia mencari
sekutu dalam blok Soviet. Sebenarnya Kuba diperlakukan tidak adil dalam blok
tersebut. Carlos Tablada, seorang penasihat Castro, mengakui pada tahun 1991
bahwa dalam jaringan ekonomi blok Soviet, "kami tidak diizinkan mengembangkan
sebuah industri otomotif karena peranan ini diberikan kepada
Cekoslovakia."
Prestasi
ekonomi Kuba sebelum tahun 1990 harus disimak dalam konteks ini. Prestasi itu
sangat tidak merata. Laju pertumbuhan yang 3% kurang pada tahun 1960an
meningkat menjadi 7.5% antara 1970 and 1975 karena dibantu dengan suntikan
modal Soviet. Kemudian merosot menjadi kira-kira 4% antara 1975 dan 1980.
Ekonomi bergejolak secara tajam antara 1980 dan 1985 karena fluktuasi harga
ekspor, kemudian agak mandeg: angka penghasilan nasional pada tahun 1989 tetap
dibawah angka yang tercapai pada tahun 1985.
Kebijakan
sosial menghasilkan buah yang cukup baik. Sistem kesehatan unggulan, seluruh
masyarakat melek huruf, dan hubungan antar-ras agak baik juga. Distribusi
kekayaan jauh lebih merata dibandingkan dengan, misalnya, negara tetangga
Amerika Serikat.
Banyak
pengamat kiri yang menyimak prestasi Kuba ini -- pertumbuhan ekonomi yang
lumayan, dinas-dinas sosial yang bagus, hubungan antar-ras yang tidak serasis
banyak negeri lain -- dan menarik kesimpulan bahwa revolusi Kuba sudah
membangun sebuah masyarakat sosialis yang bagus. Bukankah Kuba sebelum revolusi
itu merupakan negeri melarat?
Sebenarnya
bukan. Kuba sebelum revolusi penghasilan ekonominya (per capita) kira-kira
sederajat dengan Argentina, salah satu negeri yang paling maju di Amerika
Selatan. Dinas kesehatan cukup bagus, 80% dari penduduk sudah melek huruf, dan
rasisme (menurut Castro sendiri) tidak begitu berarti. Artinya: Kuba bukan
neraka seperti digambarkan oleh golongan reaksioner di AS, tetapi juga bukan
surga seperti yang dibayangkan banyak golongan kiri, melainkan prestasinya
selama 30 tahun sedang saja.
Selain
itu, "sosialisme" di Kuba kekurangan satu sifat yang terutama
penting: demokrasi. Soeharto memerintah Indonesia selama 23 tahun tanpa harus
menghadapi capres alternatif, dan itu kita anggap sebuah kediktatoran. Castro
sudah berkuasa sejak tahun 1959 dan belum juga muncul capres alternatif.
Soeharto membantah para pengkritiknya dengan menunjuk ke "demokrasi pancasila"
yang dianggapnya lebih unggul dari demokrasi liberal ala barat, tapi kita tahu
itu hanya akal-akalan saja. Castro dan para pendukungnya (termasuk banyak kaum
kiri di barat) mengajukan argumentasi yang mirip: bahwa Kuba punya demokrasi
khusus berdasarkan poder popular (kekuasaan kerakyatan).
Kenyataannya?
Rezim Castro memang lebih toleran daripada bekas rezim Eropa Timur. Dan pada
awalnya dia berkuasa melalui semacam "demokrasi langsung" dengan
rally-rally besar-besaran. Tapi lama-lama dia membutuhkan sebuah sistem
pemerintahan yang lebih formal. Untuk itu, kelompok gerilyawan terlalu kecil.
Mereka
tidak memobilisasi kaum buruh dan rakyat pekerja lainnya untuk mengambil alih
pemerintahan sendiri, melainkan mengundang Partai Komunis untuk bersatu dengan
mereka. Partai Komunis itu sudah lama tidak revolusioner lagi, dan tidak begitu
antusias dengan pemberontakan yang dijalankan si Castro. Tetapi mereka memang
bermanfaat untuk menjadi sebuah birokrasi seperti di Rusia.
Proses
politik di Kuba dikontrol secara ketat oleh rezim. Partai Komunis selalu
memiliki mayoritas tunggal dalam semua lembaga politik. Mass media disensor.
Para pengkritik dibredel bahkan dipenjarakan. Pengkritik ini memang banyak yang
dari sayap kanan dan kontra-revolusioner, tapi tidak semua. Ahli sejarah
sosialis Ariel Hidalgo telah menulis sebuah analisis Marxis yang membuktikan
bahwa Cuba masih sebuah masyarakat berkelas. Dia berseru agar kelas buruh
bangkit lagi untuk melakukan revolusi baru yang betul-betul sosialis. Kemudian
Ariel Hidalgo dijebloskan di penjara.
Di
kampung-kampung, masyarakat diawasi oleh para "Komite Pembela
Revolusi" yang berperan seperti RW/RT di Indonesia. Keadaan kaum perempuan
juga jauh dari memuaskan. Misalnya kepemimpinan Partai Komunis hampir semua
laki-laki.
Walau
rezim Castro mengaku sosialis, kaum buruh tidak menguasai proses produksi dan
tidak boleh mogok kerja Serikat-serikat buruh peranannya mirip dengan SPSI.
Pada tahun 1970 hal ini diakui oleh Mennaker:
"Secara
teoretis, para pengelola mewakili kepentingan rakyat. Itu memang benar dan
baik. Nah, boleh jadi si pengelola melukan kesalahan demi kesalahan … kaum
buruh melihat itu dan merasa harus menerima nasib mereka saja. Mereka tidak
bisa berbuat apa-apa."
Kenapa
situasi ini bisa terjadi, mengingat motivasi-motivasi progresif yang telah
mengilhami kaum "berewok" yang merebut kekuasaan pada tahun 1959?
Penindasan dan penghisapan terhadap kelas buruh merupakan akibat logis dari
upaya membangun "sosialisme dalam satu negeri". Rezim mau
mengembangkan ekonomi tanpa dibantu oleh revolusi-revolusi buruh di
negeri-negeri lain. Untuk itu, harus mengeruk laba sebesar-besarnya buat di-investasi
lagi dalam produksi. Artinya, rezim harus mengakumulasi kapital dari jerih
payah kaum buruh. Para buruh diajak berkorban demi tujuan-tujuan revolusi, dan
mula-mula mereka bersedia berkorban. Tetapi dalam jangka panjang, eksploitasi
in hanya bisa berjalan terus dengan timbulnya struktur-struktur dominasi.
Alhasil logika kapitalis muncul juga, walau tidak ada kelas pemilik modal
swasta. Sebagai pengganti muncullah sebuah lapisan birokratis yang menjadi
kelas penguasa baru. Lapisan ini semakin korup -- dan korupsi itu sulit
diberantas karena tidak ada demokrasi.
Dalam
krisis tahun 1990an, kecenderungan kapitalis ini menjadi lebih parah lagi.
Setelah kehilangan tunjangan dari Uni Soviet dan Eropa Timur, Kuba harus
membuka ekonominya dan ekonomi itu di- "dolarkan" dengan cepat.
Jurang pemisah antara yang punya dolar dan yang tidak punya menjadi semakin
besar.
Tentu
saja kita tetap mesti membela Kuba melawan ancaman-ancaman imperialis. Boikot
perdagangan Amerika Serikat terhadap Kuba harus kita lawan. Rakyat Kuba berhak
menentukan nasib mereka sendiri, tanpa campur tangan dari luar. Namun rezim
Castro tidak boleh diagungkan atau dijadikan sebuah model untuk revolusi di
negeri-negeri lain.
4.
Beberapa kesimpulan
MESKIPUN
ketiga revolusi ini agak beraneka ragam, akan tetapi menonjolkan pula beberapa
persamaan. Para revolusioner (bahkan yang mengaku Marxis) selalu menjalankan
strategi nasionalis; tetapi masalah-masalah sosial yang mendasar dewasa ini
tidak bisa diselesaikan tanpa orientasi internasional. Mereka sering
mengandalkan pendekatan "strategi tahapan" (revolusi demokratik dulu)
yang kerap mengakibatkan kekalahan atau distorsi. Dan mereka tidak berorientasi
untuk membangun sebuah partai revolusioner, dan sebuah negara revolusioner,
yang berdasarkan pada kekuasaan langsung dan demokratik kaum buruh sendiri. Di
Iran dan Cina (1927) mereka kalah secara tragis. Di Cina (1949) dan Kuba mereka
menang, tetapi tatanan masyarakat yang mereka bangun belum juga membebaskan
kaum buruh dan rakyat
Kesalahan-kesalahan
itu sebagian besar berasal dari fenomena Stalinisme, yang menjungkirbalikkan
teori dan praktek Marxis. Negeri-negeri dunia ketiga hanya bisa lepas dari
penindasan kapitalis jika kaum revolusioner mengkaji kembali masalah-masalah
tersebut. Itu sebabnya Suara Sosialis berupaya untuk menyediakan sebanyak
mungkin bahan tentang Marxisme.
situs yang mungkin membantu :
http://blogeryishakkuradi@gmail.com,
https://www.youtube.com/channel/UCYhYZV9hTXYNxBkga9oalDg
http://blogeryishakkuradi@gmail.com,
https://www.youtube.com/channel/UCYhYZV9hTXYNxBkga9oalDg
--------------------------------------------------------------------------
Sumber:
http://arts.anu.edu.au/suarsos/duniaketiga.htm
Comments
Post a Comment