MEMBANGUN GERAKAN MAHASISWA KERAKYATAN


MEMBANGUN GERAKAN MAHASISWA KERAKYATAN
Menuju Masyarakat Indonesia yang Demokratis

Introduksi

Gelora perjuangan "Revolusi Mei" 1998 masih terngiang-ngiang di telinga kita.  Gegap-gempitan dan riuh-rendah aksi penumbangan seorang diktator dengan satu aktor utamanya : mahasiswa, terasa seakan baru kemarin. Peran mahasiswa yang nyaris melegendaris[1] ini seharusnyalah menyisakan secercah kebenaran yang bersih daripadanya.  Kini 'langit sepi', 'ombak' laut tak lagi bergelora dahsyat, 'jerit camar-camar' tertelan angin yang dibawa pemerintah baru hasil pemilu : Gus Dur. Kini pula ribuan pertanyaan menunjuk hidung mahasiswa yang telah menjadi pelopor membakar 'api reformasi' yang kini menghanguskan banyak hal - yang baik maupun yang buruk. Sebentuk tanggung jawab seakan dituntut disini, atas 'bola' yang telah bergulir. Mau kemanakah 'bola api reformasi' itu ? Diamanakah kini engkau gerangan Gerakan Mahasiswa (selanjutnya bisa disingkat: GM) yang kemarin lantang berteriak reformasi ? Gagapkah manghadapi terpaan angin perubahan jaman yang tidak kenal kompromi ?
Memang Gerakan Mahasiswa kembali menjadi kategori politik yang patut dipertimbangkan di Indonesia. Setidaknya tercatat dua kali proses politik penting dalam perjalanan sejarah Indonesia yang diwarnai oleh sektor masyarakat ini sekaligus menyumbangkan kontribusinya yang penting dalam momen transisi penguasa. Pertama, tentu saja GM tahun 1966 ( yang telah 'memitos'  sekaligus pancang bahwa GM adalah gerakan Moral / moral force), yang berhasil menjatuhkan Sukarno dan mengangkat Suharto. Kedua, GM yang bangkit pada tahun 1990-an yang berkulminasi pada 'Peristiwa Mei' 1998, dengan jatuhnya kekuasaan Suharto yang dulu turut dinobatkan oleh GM sebelumnya. Tidakkah sebuah ironi sejarah telah tejadi. Dua peristiwa besar ini semakin membangkitkan keyakinan bahwa GM merupakan salah satu sumber daya politik yang harus diperhatikan. Keyakinan ini hampir saja menjadi semacam "mitologi" baru. Sebuah mitos terjadi karena dalam suatu mometum terjadi peristiwa yang besar. Dalam konteks politk, peristiwa tersebut adalah terjungkalnya sebuah kekuasaan politik dan dengan sendirinya memberi  memberi dampak "kekuasaan" tehadap satu kompenen terpenting yang telibat dalam peristiwa tersebut. Tetapi toh kita mencatat kegagalan GM 1966  yang lumpuh menghadapi politik kediktatoran Suharto. Fakta ini menggiring kita ke sudut pertanyaan besar bagi masa depan GM 1998, akaknkah ia bernasib sama seperti pendahulunya? Mampukah ia -bersama rakyat - memasuki gerbang masyarakat Indonesia yang adil dan demokratis?
Ya, kini saatnyalah untuk memikirkan ulang segala-sesuatunya. Menelaah kembali  gerakan dan format gerakan, berkaca pada cermin sejarah. Adakah yang salah pada langkah kita ? Tidakkah kita terjebak pada lobang yang sama seperti pendahulu kita ? lalu penyelesaian apakah  --berarti mereposisi kembali peran gerakan mahasiswa--yang akan ditawarkan sebagai kesimpulan, dalam rangka menggapai masyarakat Indonesia yang, sekali lagi, adil dan demokratis?
Pokok-pokok ini akan dibahas dalam tulisan ini.

I. Belajar dari Sejarah

Pembuktian sejarah gerakan mahasiswa Indonesia sesuai dengan konteks  zamannya, haruslah memberikan kesimpulan apakah  gerakan tersebut,  dalam oreientasi dan tindakan politiknya, benar-benar mengarah dan bersandar pada problem-problem dan kebutuhan  struktural rakyat Indonesia. Orientasi dan tindakan politik  merupakan cermin dari bagaimana mahasiswa Indonesia memahami masyarakatnya, menentukan  pemihakan pada rakyatnya serta kecakapan  merealisasi nilai-nilai tujuan atau ideologinya.
Karena  pranata mahasiswa merupakan gejala  pada  masyarakat yang telah memiliki kesadaran berorganisasi, dan mahasiswa  merupakan  golongan yang diberikan kesempatan sosial untuk  menikmati kesadaran tersebut, maka asumsi bahwa gerakan mahasiswa  memberikan  penghargaan yang tinggi terhadap kegunaan organisasi  dalam gerakannya adalah absah. Dengan demikian kronologi sejarah gerakan  mahasiswa  harus memperhitungkan batasan  bagaimana  sejarah mahasiswa  memberikan nilai lebih terhadap  organisasi[2] sebagai alat perjuangan politik modern.  Meskipun demikian, tidak ada maksud untuk tidak menghargai gerakan  rakyat spontan.
Nilai  lebih  organisasi dalam  gerakan  mahasiswa  hanyalah bermakna  bahwa  di dalam  organisasi,  mahasiswa  ditempa   dan dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.       Pemahaman / pengidentifikasian  terhadap masyarakat dan persoalan-persoalannya.
2.      Keberpihakan  pada rakyat.
3.      Kecakapan-kecakapan dalam pengelolaannya dalam mencapai tujuan ideal/ideologinya.

Ketiga syarat tersebut mencerminkan:
1.       Tujuan dan orientasi gerakan mahasiswa.
2.      Metodologi gerakan mahasiswa.
3.      Pengorganisasian  sumber daya manusia, logistik  dan  keuangan Gerakan Mahasiswa, dan
4.      Penentuan program-program politik  GM yang  bermakna  strategis-taktis.

Kategori organisasional in pulalah menjadi semakin penting karena terbukti pad GM masa Orba (juga kini) tidak mampu memaksimalkan arti dan peranan organisasi sebagai alat perjuangan modern.
Dengan kategori ini kita akan melintas sepintas perjalanan GM Indonesia dari zaman kolonial Belanda sampai saat ini.

II. Kolonialisme dan Gerakan Pemuda

Tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah merupakan akumulasi dan kulminasi  dari dialektika  kondisi  obyektif  dengan   tindakan subyektif  masa  sebelumnya. Oleh karena  itu  gerakan  mahasiswa Indonesia tidak lepas dari pengaruh penyebaran   ideologi  liberal,   nasionalisme,   sosiaisme, komunisme, perang-perang  heroik di dalam maupun  luar  negeri;  gerakan petani abad 19, gerakan buruh pada awal abad 20 maupun  sosial-demokrat, dan Islam, serta kondisi-kondisi ekonomi politik lainnya.
Seperti halnya negara yang pernah terjatuh pada kolonialisme, gerakan mahasiswa di Indonesia muncul pada saat-saat akhir kolonialisme kapitalis Belanda. Setelah kemenangan golongan liberal atas golongan konservatif,  politik “balas budi” atau politik etis mulai diterapkan di Indonesia. Salah satu kebijaksanaan politik etis adalah edukasi / pendidikan.  Kebijaksanaan ini diberlakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah, mulai dari sekolah tingkat dasar hingga sekolah-sekolah tinggi, golongan pribumi diberi kesempatan untuk menempuh pendidikan. Sejak saat itu banyak golongan pribumi yang mendapatkan kesempatan sekolah di luar negeri seperti Hatta, dan banyak tokoh yang bisa menyelesaikan studinya di Indonesia seperti Soekarno, dr. Soetomo, dll.
Pada awalnya, aktivitas yang ada hanya kelompok-kelompok studi. Para mahasiswa mendiskusikan apa yang sedang terjadi di negeri mereka yang masih terjajah. Dari kelompok-kelompok diskusi ini kemudian timbul kesadaran – terutama mahasiswa yang telah selesai studinya -- untuk mendirikan organisasi. Maka lahirlah organisasi seperti Boedi Oetomo, National Indies Partij, dll. Organisasi-organisasi ini awalnya bergerak dalam bidang sosial semata, menyebarkan pendidikan,  dan tidak bertujuan politik[3]. Namun lama kelamaan gerakan ini berubah menjadi gerakan politik, menyebarkan nasionalisme dan mulai benci kepada pemerintah Belanda. Berdasarkan laporan Semaoen tentang gerakan di Indonesia, dituliskan:
Boedi Oetomo dan Politik Etis dari pemerintah menunjukkan pertumbuhan intelengensia. Kelas intelektual ini menjadi kolompok bagi nasionalisme Jawa, dan Boedi Oetomo secara bertahap tumbuh menjadi organisasi politik. Kaum Nasionalis Boedi Oetomo makin tidak suka kepada pemerintah…[4]

Dari perkembangan ini kemudian mulai bermunculan partai-partai politik yang keberadaannya dipelopori oleh lulusan-lulusan universitas baik di Indonesia maupun di luar negeri. Kita kenal Indische Partij ( Partai Hindia), Partai Rakyat Hindia Belanda, Perserikatan Komunis India, Partai Nasionalis Indonesia, dll. Semuanya jelas merupakan gerakan politik, menginginkan Indonesia merdeka, terlepas dari cengkraman kolonialisme Belanda.
Pada masa penjajahan Belanda ini murid-murid STOVIA mencoba memulai gerakan dengan mendirikan Trikoro  Dharmo pada tahun 1915. Gerakannya bukan dalam  kerangka konsep  mahasiswa tetapi pemuda, dan juga belum  memiliki  konsep nasionalisme yang jelas (kedaerahan). Beberapa  Sejarawan  berpendapat,  bahwa  pada  tahap   awal gerakan, elemen-elemen pelopor pertama-tama harus bisa merumuskan problem-problem  masyarakat  dan kemudian  menyampaikannya  dalam bentuk   agitasi   dan   propaganda.   Namun   realita    sejarah menghidangkan  kenyataan  lain: kondisi subyektif  gerakan  belum bisa  bersatu dengan kondisi obyektif di luar  gerakan,  keduanya belum solid.  Dengan  masuknya  ide-ide  dari  barat,   seperti liberalisme, sosialisme, dan liberal belum membentuk  intelektual untuk mengartikulasi problem-problem masyarakat serta rakyat  dan kemudian menggerakkan massa.
Organisasi-organisasi  yang  tumbuh  kemudian  adalah   juga organisasi  pemuda kedaerahan (Jong Sumatera, Jong Celebes,  Jong Minahasa,  dsb.)  dan  belum tercipta  konsolidasi.  Baru  dengan prakarsa  Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI),  beberapa organisasi  kedaerahan dilebur menjadi Indonesia Muda  (IM)   tahun 1930.
Pada tahun1915-1930  merupakan rentang  waktu yang cukup panjang bagi pemuda dan pelajar  untuk merumuskan penjelasan  yang  lebih  jernih  tentang nasionalisme yang melekat pada organisasi  Indonesia Muda dan pergulatan yang meleahkan untuk melepaskan  dirinya  dari  sektarian organisasi/sektoral   pemuda  dan mahasiswa  guna mempertajam orientasi anti-kolonial.  Selain  itu juga  gerakan  ini harus melewati  masa-masa  sulit:  kelumpuhan pergerakan  nasional  akibat pemerintahan kolonial  yang  semakin represif,   setelah  pemberontakan  PKI  1926  dan   1927   serta pemogokan-pemogokan buruh.[5]
Di dalam kondisi kelumpuhan pergerakan nasional serta represivitas demikian itu muncullah  alternatif  Kelompok Studi (Studie-studie  Club)  yang mempunyai bobot politis   dilihat   dari  orientasi  dan   tindakan   politiknya. Terbentuknya  Indonesiche Studie Club (IS) dan  Algemenne  Studie Club (AS) maka politis dari kelopok studi pada waktu itu adalah:
Mempelajari  kondisi dan persoalan konkrit  yang  berhubungan dengan  rakyat   kemudian mengadakan ceramah-ceramah  dan  kursus-kursus   tentang perburuhan, upah,  kesejahteraan,   pendidikan koperasi, arti pergerakan, kepartaian dan sebagainya.
Membentuk  komite dan pengumpulan bahan  mengenai  masyarakat Kolonial      Hindia  Belanda,  kemudian  menyebarkannya  dalam  bentuk brosur,  pamflet  atau surat kabar dan  majalah  seperti  Soeloeh Ra'jat Indonesia dan Soeloeh Indonesia.
Mencari  alternatif bagi perbaikan  terhadap  problem-problem konkrit tersebut dan kemudian dilakukan tindakan nyata. Forum ditujukan pada semua masyarakat luas dan terbuka  untuk umum. Mendukung pemogokan buruh, seperti pada kasus pemogokan  buruh bengkel dan elektrik Surabaya, November 1925.
Dalam  merespon perubahan politik yang lebih liberal  akibat penggantian  Gubernur Jenderal De Fock oleh De  Graff  (pendukung Van  Limburg Stirum, seorang liberal) AS dan IS  berubah  menjadi -Partai Bangsa Indonesia- (PBI) dan -Perserikatan Nasional Indonesia-(PNI), kelompok studi ditransformasikan menjadi partai.[6]
Analisa  terhadap  Studie Club jelas  memberikan  kesimpulan bahwa  kondisi obyektif ekonomi politik pada saat  itu  politik kolonial  yang  semakin represif, yang kemudian  berubah  menjadi liberal  karena  perubahan  status  ekonomi  Belanda --masuknya secara lebih intensif modal swasta--  dan  Hindia Belanda dapat direspon dan distimulasi oleh kondisi  subyektif Studie Club yang bertransformasi menjadi sebuah partai. Jadi, sungguh yang kesimpulan yang spekulatif bila dikatakan bahwa  mandulnya  gerakan mahasiswa pada Orde  Baru  dan  larinya mahasiswa dari kampus dengan kelompok studinya adalah diakibatkan NKK/BKK. Sungguh suatu kesimpulan yang spekulatif dan ahistoris juga bila tidak ada NKK/BKK maka akan menjadi kuatlah gerakan mahasiswa.


II. a. Masa Penjajahan Fasisme  Jepang

Di bawah pendudukan Jepang yang fasis dan represif praktis tidak ada ruang hidup bagi kehidupan politik kaum pergerakan khususnya pemuda.Semua organisasi  pemuda yang ada dibubarkan dan dimasukkan ke dalam Seinendan-Keibodan (Barisan  Pelopor)  dan PETA (Pembela Tanah Air) untuk  dididik politik untuk kepentingan politik Asia Timur Raya sebagai bagian dari program imperialisme fasistik Jepang .
Yang  menjadi topik menarik pada jaman ini  adalah  ramainya bermunculan, sebagi mutasi gerakan di bawah syarat-syarat sangat represif,: Gerakan Bawah Tanah/GBT (Underground Movement) dengan rapat-rapat  gelap, dan  penyebaran  pamflet. GBT ini dikombinasikan  dengan  gerakan gerakan  legal  Sukarno; merupakan jalan keluar yang  logis  bagi perlawanan anti fasis. Suatu jalan keluar yang mencekam dan tidak memassa. Disinilah pergerakan terasing dari massa.Tingkat kesadaran massa untuk mengambil jalan keluar ini belum mencapai tingkat yang diharapkan --tingkat yang revolusioner.


II. b. Masa Kemerdekaan[7]
Masa 1945-1950 merupakan momentum yang penting dalam gerakan pemuda   dan  pelajar:  selain  melucuti  senjata  Jepang,   juga memunculkan   organisasi-organisa-si  seperti:   Angkatan   Pemuda Indonesia (API), Pemuda Republik Indonesia (PRI), Gerakan  Pemuda Republik  Indonesia  (GERPRI),  Ikatan  Pelajar  Indonesia  (IPI), Pemuda Putri Indoensia (PPI) dan banyak lagi. Pada  saat  belum ada organisasi pemuda  dan  pelajar,  yang berbentuk   federasi,  diselenggarakan  Kongres  Pemuda   seluruh Indonesia  I (1945) dan II (1946). Kedua kongres tersebut  sangat penting artinya, karena:
Melahirkan  organisasi  Gabungan  Pemuda  sosialis  Indonesia (PESINDO),  yang merupakan peleburan dari API, PRI,  GERPRI,  dan AMRI. Semua kekuatan mampu dikonsolidaasikan disini. Terbentuknya Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI). Kongres I sangat diwarnai semangat perjuangan bersenjata[8].
Konggres  II  menghasilkan  keputusan:  Berpegang  teguh  pada Undang-Undang Dasar 1945, membentuk dan memperkuat laskar-laskar rakyat guna mempertahankan kemerdekaan nasional, mengisi  jabatan-jabatan  penting  di  pemerintahan  dan  mematuhi  pemimpin  yang menyerukan  revolusi nasional dan revolusi sosial.
Organisasi-organisasi   seperti  Perhimpunan  Mahasiswa de Jakarta  (PMD),  Perhimpunan Mahasiswa Jogja,  Sarekat  Mahasiswa Indonesia (SMI), Perhimpuan mahasiswa Katolik Republik  Indonesia (PMKRI),  Himpuanan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan  Mahasiswa Kedokteran  Hewan (PMKH), Perhimpunan Mahasiwa Kristen  Indonesia (PMKI) dan Persatuan Pelajar Peguruan Tinggi Malang (PPPM) setuju membentuk Perserikatan Perhimpunan-Perhimpunan mahasiswa Indonesia dan  Badan Koordinasi Mahasiswa Indonesia (BKMI) khusus  di  daerah kedudukan  Belanda.  Dalam perjalanannya,  keberadaan  BKMI  yang dikatakan  kolaborator, menimbulkan pro dan kontra.  Pertentangan dapat   diselesaikan  setelah  elemen   pro-Republik   mengadakan infiltrasi  ke BKMI. Kongres Pemuda Indonesia pada  tanggal  8-14 Juni  1950  berhasil membentuk Front Pemuda Indonesia  (FPI)  dan hanya mengakui PPMI sebagai federasi mahasiswa universitas.[9]
Pada   massa  ini  gerakan  pemuda  dan  mahasiswa   mencoba memeperkuat  penolakan terhadap usaha kolonialisme Belanda  untuk kedua  kalinya, dan secara umum belum sampai kepada  tahap  anti-imperialisme   (perusahaan-perudsahaan   milik   Belanda    tetap bercokol).

II.c. Periode 50-an

Periode   Demokrasi   Liberal   1950-1959   ternyata   tidak memberikan   pendidikan  politik  yang  berarti  bagi   mahasiwa. Pertemuan  Majelis  Permusyawaratan Mahasiswa (MPM)  dalam  bulan Desember   19955   di  Bogor  PPMI   memutuskan   untuk   menarik keanggotaannya   dari   FPI.  Dengan  demikian   jelaslah   bahwa keanggotaan PPMI dan FPI yang secara sosiologis dapat  memberikan dimensi lingkungan sosial yang lebih luas, dihindari oleh gerakan mahasiswa.   Mahasiswa  justru  melumpuhkan  akstivitas   politik mereka.  Kemudian  membius diri dengan  slogan-slogan  "Kebebasan Akademik"  dan "Kembali ke Kampus". Mahasiswa lebih  aktif dalam kegitan rekreatif, perploncoan, dan mencari dana.
Peristiwa penting yang membangkitkan kembali semangat GM terjadi ketika parpol-parpol bersiap-siap mengahadapi pemilu. Kekuatan politik waktu itu melihat potensi kader-kader baru yang ada dalam barisan  mahasiswa Gerakan mahasiswa seakan mendapat suntikan 'darah segar' dan kembali mendapat  momentumnnya. Pada   saat  itu  berdirilah  organisasi   mahasiswa   yang berafiliasi   ke  partai,  seperti  Gerakan  Mahasiswa   Nasional Indonesia (GMNI) yang berafilsi dibawah PNI, Gerakan  Mahasiswa Sosialis Indonesia (GMS/GERMASOS) dengan PSI, Himpunan  Mahasiswa Islam  (HMI)  dengan  Masyumi,  Concentrasi  Gerakan   Mahasiswa Indonesia (CGMI) dengan PKI.
Pertentangan  lama antara Front "Kiri" dan "Kanan"  mendapat momentum  dalam persiapan menghadapi pemilu, dan  implementasinya disektor  mahasiswa adalah 'persaingan' antara CGMI, GMNI, GMKI  di satu  pihak  dengan  HMI,  PMKRI dan GMS  di  lain  pihak.  Dalam 'peperangan' itu isu utama dari pihak kiri adalah "Kapitalisme, Neo-Kolonialisme,  Feodalisme dan Fasisme". Sedangkan isu  dari  pihak kanan  adalah "Komunisme, Diktator, Satelit Komunis,  Menghalalkan Segala Cara” dsb. Sementara itu, PPMI makin condong ke kiri.
Sejak tahun 1956 perpecahan dalam gerakan mahasiswa  menjadi lebih  terbuka didorong oleh situasi politik nasional  sebagai berikut [10]:
Pembangunan  ekonomi yang terbengkalai digilas  oleh  konflik  politik  Daerah tertentu menekan pusat agar pendapatan pemerintah  dan mata  uang  asing  dibagikan secara lebih  merata.  Di  parlemen, Masyumi,  PSI  dan  oposan lain  ditambah  dengan  pihak  militer bekerja sama menentang pemerintahan. Puncaknya adalah  terjadinya pemberontakan bersenjata PRRI dan PERMESTA.
Dibubarkannnya Badan Konstituante disebabkan kontroversi  yang ditimbulkan Partai-Partai Islam yang berusaha memasukkan  "Piagam Jakarta"  ke  dalam  konstitusi baru.  Akibatnya  di  dalam  PPMI perpecahan  tak  dapat dielakkan lagi: Pada tanggal 1  Juni  1959 beberapa anggota PPMI berangkat ke Bandung dengan tujuan  memberi tekanan agar kembali ke UUD '45.
Pada  tanggal  28 Februari 1957,  aktivis-aktivis  mahasiswa yang berbasis di UI berprakarsa menggalang senat-senat  mahasiswa dari   berbagai  universitas  dan  berhasil  membentuk   federasi mahasiswa yang bernama Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI).  Terjadi lagi kemunduran dalam gerakan mahasiswa Indonesia, ketika politik partai  lebih  banyak  menyerap  partisipasi  mereka.   Mahasiswa kembali  lari  dari persoalan-persoalan yang ada  di  masyarakat, seperti misalnya:
Mahasiswa tidak memandang perjuangan pembebasan  Irian  Barat (TRIKORA)    sebagai   kelanjutan   dari perjuangan    melawan kolonialisme,  imperialisme  dan kapitalisme (bumi  Irian  sangat kaya dengan bahan-bahan tambang, hutan, dan mineral)
Mereka  tidak turut berpartisiapasi  dalam  Hari  Solidaritas Internasional  Menentang Kolonialisme pada tanggal 24 April  1957 (yang  berpartisipasi adalah PPMI, FPI dan  Perserikatan  Pemuda Indonesia/PORPISI,  yang tujuannya memnperkuat kerja  sama  negara Asia-Afrika menuntut klaim Irian Barat sebagai wilayah RI).
Sementara  itu  peran militer dalam negara  terus  mengalami perluasan  sejak akhir 1950-an. Pertama, ketika diberlakukan  SOB (negara  darurat perang) yang semakin meningkat dalam  perjuangan pembebasan  Irian  Barat. Kedua, Ketika Presiden  Soekarno  harus mengadakan  pertemuan  dengan  Nasution  dan  Soekarno   menunjuk dirinya  sebagai  Perdana Menteri karena  dalam  keadaan  darurat perang.
Sebenarnya dasar dari proses depolitisasi mahasiswa dan pemuda  bermula dari:
Penanda tanganan Badan  Kerja-Sama  Pemuda-Militer (BKS-PM), 17 Juni  1957  yang  ditandatangani  oleh  Soekatno  (Sekjen  Pemuda Rakyat),  SM.  Taher (Pemuda Demokrat), A. Buchori  (GPII),  Kyai Haji   Wahib  Wahab  (Ansor),  dari  pihak  pemuda  dan   Letkol. Pamurahardjo dari pihak AD. Strukturalisasi pengukuhan  kerjasama ini dilakukan dalam bentuk Badan Kerja Sama Pemuda-Militer  (BKS-PM) yang  akhirnya diresmikan tanggal 28 Juli 1957.
Terbentuknya BKS-BKS lainnya antara militer dan sektor rakyat lainnya (buruh, petani, perempuan). Bukanlah suatu hal yang kebetulan jika gerakan pemuda -mahasiswa  merupakan gerakan paling militan mendongkel Bung Karno yang pada kenyataannya merefleksikan konflik militer (Angkatan Darat) melawan kekuatan nasionalisme kiri kerakyatan lainnya (PKI, GMNI, Soekarno).
Eskponen  gerakan  sosialis dan HMI  diikut  sertakan  dalam aktivitas-aktivitas di luar kampus. Sejak awal 1959 mereka telah mengukuhkan  hubungan dengan administratur-administratur  militer yang  berkaitan  dengan urusan pemuda  dan  mahasiswa.. Termasuk pula mahasiswa dan pemuda di Bandung  yang  tidak  menyadari hal ini  menjadi  ladang  oposisi mahasiswa dalam menentang Soekarno Jadi bukan hal yang aneh bila pada  tahun 1966 mahasiswa-mahasiswa Bandung adalah  yang  paling militan berdemonstrasi mengulingkan Soekarno.
Sementara   itu  Gerakan  Pemuda  Islam   Indonesia   (GPII) dibubarkan   dengan  tuduhan  terlibat  usaha   pembunuhan   atas Soekarno.  HMI  sampai  peristiwa  1965  berhasil  selamat   dari pembersihan. GMNI,  CGMI  dan  GERMINDO  kemudian  membentuk  Biro   Aksi Mahasiwa dan menyelengarakan Konggres kelima PPMI di Jakarta,  Juli 1961.  Hasilnya  adalah pembentukan presidium yang  terdiri  dari GMNI,  PMKRI, GMKI, GMD, CGMI, PMB dan MMB. Eksekutif  yang  baru dianggap oleh lingkungan mahasiswa tertentu memiliki orientasi ke kiri.  Pada  saat yang sama GERMASOS dan HMI  dapat  masuk  ke dalam organisasi-organisasi lokal di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan  Surabaya.  Dalam  tahun  1961,  organisasi-organisasi  lokal tersebut   membentuk  Sekretariat  Organisasi   Mahasiswa   Lokal (SOMAL).  Dalam banyak kesempatan SOMAL selalu menegur PPMI  agar jangan  terlalu  terlibat  dalam isu politik.  Orang  akan  dapat membaca  dalam pernyataan-pernyataan SOMAL, ada semacam  hubungan antara aspirasi SOMAL dengan aspirasi senat-senat mahasiswa  yang tergabung dengan MMI. Dalam eksekutif MMI, terdapat Akademi Hukum Militer , PTIK  yang berhasil memegang kepemimpinan MMI.[11]
Pada masa ini GM mulai berusaha membongkar hubungan sosial yang kapitalistik, kolonialis, imperialis serta sisa-sisa feodalistik,  dihadapkan pada kesiapan militer.  Yang perlu ditanyakan disini adalah siapkah GM tersebut dengan gerakan massa ? Pertanyaan tersebut berhubungan dengan obyektivitas perjuangan mahasiswa waktu itu   yang secara politik akan berhadapan dengan suatu kekuatan militer yang pro-kekuatan konservatif - yaitu bahwa kekuatan militer konservatif hanya dapat dihadapai, dilumpuhkan dengan kesiapan secara kuantitias maupun kualitas dari gerakan massa. Sejarah akhirnya akan membuktikan lain.
Kemudian gerakan mahasiswa[12] mengalami perubahan sejak diterapkanya demokrasi terpimpin. Terjadi “pengideologisasian” di dalam kampus, ideologi demokrasi terpimpin dimasukkan ke dalam kampus. Hal ini membawa akibat, organisasi mahasiswa yang sesuai dengan idelogi negara saat itu bisa berkembang, sedangkan organisasi mahasiswa yang berseberangan dengan ideologi negara terkucilkan. Keadaan ini terlihat jelas dalam kehidupan politik di dalam kampus, mahasiswa menjadi dua kubu yang saling bertentangan – antara yang pro dengan ideologi negara dan yang kontra.
Pertentangan ini semakin tajam ketika menghadapi detik-detik peristiwa September 1965, dimana kekuasan Soekarno mulai goyah. Dan  kelompok-kelompok kontra yang dipelopori militer, Islam reaksioner, Katolik reaksioner -- yang kesemuanya disokong oleh kapitalis internasional AS lewat biro intelejen CIA—mulai mengorganisir diri untuk merebut kekuasaan Soekarno.  Dan pertarungan ini akhirnya dimenangkan kelompok kontra, Soekarno jatuh dari “tahtanya” dan begitu juga nasib gerakan mahasiswa yang mendukung ideologi Soekarno[13].
Peristiwa ini menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa  memang berperan dalam kejatuhan Soekarno dan sekaligus berperan melahirkan rejim Soeharto yang kelak digulingkan oleh gerakan mahasiswa periode lain. Dan dengan demikian gerakan mahasiwa juga berperan dalam pembantaian terhadap  jutaan rakyat Indonesia setelah meletusnya peristiwa September 1965. Kemudian, setelah periode ini konsep gerakan mahasiswa ditetapkan sebagai gerakan moral (moral force), seperti yang dilontarkan oleh Soe Hok Gie. Konsep moral force [14] kemudian diperkuat oleh Arief Budiman (keterangan soal ini akan dijelaskan pada bagian selanjutnya).
Pelajaran yang dapat kita ambil dari gerakan mahasiswa tahun 1966-1968 adalah pertama, kekuatan angkatan darat telah berhasil memanipulasi (mereka menyebutnya sebagai partnership) gerakan mahasiswa untuk memberi pengesahan bagi sebuah penggulingan kekuasaan. Sementara di kota-kota terjadi aksi-aksi menuntut pergantian kepemimpinn nasional, di desa-desa terjadi pembantaian atas orang-orang kiri, PKI, nasionalis kearakyatan dan para pendukung Soekarno. Propaganda yang kemudian dilancarkan adalah tergulingnya Soerkarno itu diakibatkan oleh aksi-aksi yang dilakukan oleh mahasiswa. Tertutuplah fakta bahwa Soekarno dapat dijatuhkan setelah basis massa pendukungnya dihancurkan secara fisik dan mental yang dilakukan oleh Angkatan Darat, serta perebutan kekuasaan secara “konstitusional“. Kedua, akibat dari propaganda tersebut menjadikan mahasiswa terbius dalam khayalan bahwa dia adalah penentu perubahan (agent of change). Mitos agen perubahan ini terus dipelihara oleh rejim Soeharto untuk mencegah bergabungnya gerakan mahasiswa dengan gerakan rakyat.
Baiklah, kita lanjutkan proses sejarah gerakan mahasiswa Indonesia. Setelah menikmati kemenangan bersama naiknya rejim Orde Baru – dimana banyak tokoh-tokoh Gerakan Mahasiswa 1966 (GM'66)[15]  duduk didalam birokrasi Orba, bisa kita sebut nama-nama Sarwono, Siswono, Akbar Tanjung, Marie Muhammad–, gerakan mahasiwa dapat dikatakan 'mati-suri'. Masa-masa antara 1966-1971 merupakan masa-masa “bulan madu”[16] gerakan mahasiswa dengan Orba. Masa “bulan madu” ini mulai retak ketika Arief Budiman, dkk, mulai memprotes kebijaksanaan Orde Baru, misalnya dalam kasus pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tahun 1973. Pembangunan ini menurut kelompok Arief Budiman tidak sesuai dengan situasi Indonesia.  Bagi mereka ini hanya merupakan proyek ambisius/mercusuar belaka. Akibat “pembangkangan” ini,  Arief Budiman dijebloskan ke dalam bui oleh rejim Orba. Sebelumnya Arief Budiman terkenal sebagai tokoh yang memproklamasikan “golongan putih”.  Kemudian, pada bulan Oktober 1973 para mahasiswa mengadakan aksi ke gedung DPR/MPR menyampaikan “Petisi 24 Oktober”[17]. Isi petisi ini mengkritisi kebijaksanaan pembangunan yang dianggap tidak populis, kebijaksaan pembangunan yang dijalankan pemerintah hanya menguntungkan yang kaya. Perlawanan gerakan mahasiswa periode ini memang tidak meluas seperti halnya gerakan penumbangan Soekarno, perlawanan hanya berpusat di Jakarta dan tidak didukung dengan aksi masa yang massif. Dalam kurun waktu ini gerakan memang terfokus pada posisi sebagai gerakan moral, hanya terbatas memberikan kritik yang loyal kepada pemerintahan yang ada[18].
Setelah peristiwa diatas, gerakan mahasiswa baru bangkit kembali awal tahun 1974. Ketika itu mahasiswa memprotes masuknya modal Jepang ke Indonesia.  Kunjungan PM Jepang, Tanaka, di boikot dengan melakukan aksi massa besar-besaran di Jakarta. Hal inilah yang  mengakibatkan ibu kota lumpuh total. Saat itu gerakan mahasiswa melakukan rally dari kampus UI Salemba menuju kampus Trisakti. Sementara rakyat “asyik” dengan aksinya sendiri, melakukan pembakaran terhadap mobil-mobil produk Jepang. Peristiwa ini yang kemudian terkenal dengan Malapetaka 15 Januari “Malari”, kemudian muncullah nama-nama Hariman Siregar, Sjahrir, dll.  Dari data sejarah yang ada, gerakan mahasiswa yang membesar ini tidak lepas dari konflik elit waktu itu, ketika faksi jendral Soemitro dan Ali Moertopo saling berebut kekuasaan.[19]
Ada empat pelajaran[20] yang dapat kita ambil dari gerakan mahasiswa periode 1974.
Pertama, gerakan ini kelihatan jelas melakukan kolaborasi dengan militer, paling tidak pada detik-detik akhir menjelang meletusnya Malari. Soemitro, seorang jendral yang saat itu menjabat Pangkokamtib, terlihat jelas aktif dalam aksi-aksi tersebut. Akibat peristiwa ini, gerakan mengalami kehancuran bersamaan dengan hancurnya militer yang diajak berkolaborasi.
Kedua, gerakan mahasiswa masih elitis dan terisolasi dari massa-rakyat. Mahasiswa tidak mau bergabung bersama rakyat.  Akibat gerakan yang elitis  ini gerakan tidak bisa memimpin massa-rakyat yang terlibat dalam gerakan tersebut, rakyat akhirnya melakukan kerusuhan. Ini selanjutnya yang dijadikan legitimasi bagi rejim untuk menghentikan aksi-aksi mahasiswa dengan alasan telah mengganggu ketertiban umum, menciptakan kekacauan.
Ketiga, secara geografis gerakan tidak meluas. Gerakan yang hanya membesar disatu titik mengakibatkan gerakan mudah untuk dipatahkan. Kita lihat sendiri, ketika gerakan di Jakarta “dilumpuhkan”, perlawanan terhenti karena daerah-daerah lain tidak melakukan perlawanan sama sekali.
Keempat, mereka mengusung isu-isu  elitis yang tidak dipahami oleh rakyat serta tidak melibatkan massa luas. Sehingga massa rakyat sebagi satu-satunya kekuatan sejati perubahan hanya mampu mengerutkan dahi dan berpangku tangan ketika mahasiswa ribut soal imperialisme Jepang--modal asing,  Gerakan anti-korupsi, menentang TMII,dll.

Setelah  4 tahun peristiwa Malari, baru gerakan mahasiswa  “bangun” kembali dari masa istirahat. Pada tahun 1978 ini aksi-aksi mahasiswa terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogya dan Surabaya. Aksi-aksi ini menolak pencalonan Soeharto menjadi presiden kembali. Karena aksi-aksi semakin membesar dan mengancam kekuasan Soeharto, maka militer diperintahkan untuk menghentikan aksi-aksi mahasiswa.
Kampus Istitut Teknologi Bandung (ITB) di kepung panser, mahasiswa membuat barikade dengan melakukan tidur di sepanjang jalan Ganesa, aksi ini mampu bertahan beberapa minggu sebelum berhasil dibubarkan militer. Sementara di Yogyakarta, militer menembaki aksi mahasiswa di Universitas Gajah Mada, mahasiswa di kejar-kejar sampai ke dalam kampus, peristiwa ini kemudian terulang 20 tahun kemudian.
Memang akhirnya perlawanan mahasiswa dapat dilumpuhkan oleh rejim Orba, namun perlawanan ini setidaknya telah memberikan pelajaran berharga bagi sejarah perlawanan di Indonesia. Apabila kita simak ada dua hal  penting dalam gerakan mahasiswa periode ini.
Pertama, Gerakan periode ini setidaknya lebih maju dalam tuntutan politik – menolak pencalonan Soeharto – walaupun  belum sampai ke tahap mengkritisi sistem yang ada. Para mahasiswa saat itu melihat bahwa sosok Soehartolah yang menyebabkan Indonesia kacau balau, maka solusinya Soeharto harus ditolak menjadi presiden.
….."hingga hanya 4 tahun kemudian, 1978, ada gerakan yang bisa dikatakan lebih maju programnya ketimbang sebelumnya: gerakan mahasiswa yang tak mengerti sistim, namun cukup mengerti makna menolak kekuasaan Suharto"[21]
Gerakan waktu itu belum sadar, bahwa Soeharto telah membangun sistem birokrasi yang  didukung oleh militer, sehingga ketika posisi dia (Soeharto) terancam, Soeharto  dapat mengerahkan orang-orang yang mengelilingnya. Dan ini benar terjadi. Secara birokrasi,  Soeharto menghancurkan kehidupan mahasiswa di kampus.  Dia juga membuat peraturan yang mengekang kehidupan mahasiswa di kampus. Soeharto juga mengerahkan militer untuk merepresi gerakan mahasiswa.
Kedua, gerakan ’78 memang membesar di kota-kota seperti Bandung, Yogyakarta, tapi lemah di pusat ekonomi politik, Jakarta. Hal ini memang berbeda dengan gerakan mahasiswa ’74 – di mana gerakan membesar di Jakarta tapi lemah di daerah-daerah – tapi yang terjadi kemudian sama dengan gerakan ’74, gerakan tetap mudah dipatahkan.
Setelah “kemenangan  tertunda” dari gerakan mahasiswa ‘78, pemerintahan Soeharto  mengambil pelajaran dari peristiwa ini. Rejim Soeharto berusaha “memenjarakan” mahasiswa agar tidak keluar dari kampus. Ketika Mendikbud dijabat oleh Jendral Doed Joesoef, dikeluarkan kebijaksanaan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)[22]/ Badan Koordinasi Kampus (BKK).[23] Organisasi mahasiswa semacam Dewan Mahasiswa dibubarkan, seluruh kegiatan mahasiswa dilarang  berhubungan dengan kehidupan politik praktis.
Praktis sejak diberlakukan NKK/BKK, gerakan mahasiswa “tertidur”. Kebijaksanaan NKK/BKK ini kemudian lebih diperketat lagi. Ketika Mendikbud dijabat oleh seorang perwira tinggi Angkatan Darat, Nugroho Notosusanto, pemerintah memberlakukan  transpolitisasi yaitu ketika mahasiswa ingin berpolitik, mahasiswa harus disalurkan melalui organisasi politik resmi macam Senat, BEM, dll, dan diluar itu dianggap ilegal. Dalam kurun waktu ini juga diberlakukan Sistem Kredit Semester (SKS), sehingga aktivitas mahasiswa  dipacu hanya untuk cepat selesai studi/kuliah dan meraih IP yang tinggi.[24] Inilah hal-hal yang membuat mahasiswa semakin mengalami depolitisasi[25] dan semakin terasing dari lingkungannya.
Demoralisasi. Bisa dikatakan demikian.  Kembali ke dunia akademik --mengajar, berbangku kuliah lagi, belajar ke luar negeri, -- membentuk NGOs (perlu diketahui saja pada tahun 1982 sudah ada ribuan NGO), berbisnis, berkolaborasi dengan rejim dan sebagainya. Lahirlah bayi-bayi kiri yang dicampakkan ibunya pada usia muda: NGO menjajakan kemanusiaan borjuis-kecil --mengemis reformasi ekonomi-politik pada rejim diktator/korup, bahkan ada yang masih bermimpi membangun pulau impian di tengah modal raksasa-- kaum sekolahan yang baru pulang belajar dari luar negeri mengajarkan  --di tengah kemampuan bahasa Inggris kaum muda yang menyedihkan-- teori-teori baru sosial-demokrasi, neo-marxis, new-left….[26]

Ada dua kecenderungan yang muncul kemudian.
Pertama, kembali kepada gerakan awal 1900: munculnya kembali kelompok-kelopok diskusi.[27] Kehadiran kelompok-kelompok diskusi  inipun dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena apabila diketahui oleh rejim bisa berakibat fatal. Kita dapat melihat nasib yang menimpa Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho[28] dari kelompok diskusi Palagan yang dipenjara hanya karena memperjualbelikan buku Pramoedya Ananta Toer.  Rejim memang tidak ambil peduli kepada siapapun yang akan kembali mengusik ketenangannya. Marlin menggambarkan sebagai berikut:
…. (kebanyakan mahasiswa) mencerahkan sel-sel otaknya dalam kelompok-kelompok studi untuk menemukan makna demokrasi (walau sering tak bisa menerima sifat blak-blakannya), makna egalitarian (walau tak bisa menerima radikalisme dalam mewujudkannya). Semua nilai-nilai budaya baru itu diserap dan dimuntahkan dalam dunia bacaan --betapa militannya mereka (yang bisa berbahasa Ingris) mencari buku-buku langka yang baru…..[29]
Kedua, mereka yang “melarikan” ke luar negeri setelah represi 1978 membawa ide-ide kiri baru (New Left). Teori-teori yang sebetulnya sudah usang ini diterapkan dengan apa adanya, “seperti halnya anak kecil yang baru melihat hal yang baru, ditiru begitu saja”. Ditengah rasa demoralisasi, mereka mengatakan metode perjuangan harus diubah, perjungan harus melalui “pemberdayaan” rakyat. Maka dalam kurun waktu itu beratus-ratus LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) didirikan. Tapi dalam kenyataanya, LSM ini hanya dijadikan kedok untuk memperoleh kekayaan pribadi dengan membuat proposal dengan kata-kata indah, “memperjuangkan” rakyat miskin. Dalam situasi demikian muncul pembenaran bahwa kelompok studilah merupakan jalan keluar yang paling obyektif terhadapa persoalan ekonomi-politik Indonesia dan dengan demikian mengikis proses radikalisasi politik mahasiswa.[30]
Ada baiknya kita bahas secara singkat kemunculan organisasi LSM karena bagaimanapun berpengaruh kepada gerakan mahasiswa sampai saat ini. Berbarengan dengan terjadinya represi terhadap gerakan mahasiswa 1978, Barat yang  merupakan pusat dari kapitalisme mulai menyadari bahwa kebijaksanaan mereka mulai menimbulkan keresahan sosial.  Keadaan ini tentunya tidak dapat dibiarkan karena apabila dibiarkan bisa menjadi picu ledak bagi perlawanan rakyat. Maka mulailah disiapkan dana untuk membangun organisasi-organisasi yang seolah-olah anti negara, berasal dari arus bawah,[31]. Organisasi inilah yang dipakai untuk masuk ke daerah-daerah “api” dan kemudian digunakan untuk menjaga  “api”  tersebut supaya tidak membesar. Organisasi ini juga  digunakan untuk mendemoralisasi perlawanan rakyat. Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat ini mempunyai hubungan simbiosis mutualisme dengan  kapitalis internasional.  Kapitalis butuh LSM untuk mencegah terjadinya konflik sosial, sedangkan LSM butuh dana kapitalis untuk memperbesar “perut” mereka. Sampai saat ini menjadi anggota LSM adalah kecenderungan mantan aktivis mahasiswa yang sudah selesai kuliah. Ini terjadi karena perspektif ideologi mereka lemah – setelah selesai studi di universitas berarti sudah tidak pantas lagi terlibat aktif dalam gerakan mahasiswa – padahal apabila mereka mempunyai kesadaran ideologis, tentu akan bergabung dengan organisasi revolusioner.
Baiklah kita lanjutkan perjalanan gerakan mahasiswa periode ini. Periode 1985-an[32] GM mampu mengkonsolidasikan  aksi dan isunya hingga dapat merebut opini nasional maupun internasional. Isunya lebih populis walaupun isu sektarian mahasiswa semisal otonomi kampus, kebebasan akademik, secara sporadis juga muncul. Namun hal ini lebih sebagai taktis untuk memberikan pendidikan politik lagi pada massa mahasiswa di kampus sekaligus melatih militansi mereka. Gerakan mahasiswa kali ini mampu mendobrak kemandulan respon masyarakat terhadap situasi ekonomi-politik  yang tidak mendukung proses demokratisasi serta keadilan sosial. Wajar bila tahap awal konsolidasi ini aksinya hanya bersifat insidental dalam arti bergerak bersama bila ada peluang mengankat isu yang sama. Tahun 1988, di sejumlah kota telah terbentuk organisasi-organisasi baik yang bersifat intra kampus maupun antar kampus , bahkan telah terbuka jaringan antar organisasi di beberapa kota.
Demikianlah walau bagaimanapun ketatnya rejim  berusaha “memagari” gerak mahasiswa, lambat laun mahasiswa bisa lepas juga dari kungkungan yang ada. Perlahan namun pasti, mahasiswa yang mempunyai kesadaran politis, keluar dari “ruang-ruang” diskusi dan kembali mulai turun ke jalan. Seperti yang dijelaskan diatas, gerakan mahasiswa mengambil strategi “melingkar”, melakukan aksi-aksi advoksi terhadap kasus-kasus rakyat, hal ini mengingat depolitisasi kampus yang amat kronis. Gerakan mahasiswa mencoba menyadarkan mayoritas  mahasiswa yang terkena trauma dan mengalami depolitisasi dengan menunjukkan realitas-realitas yang ada di masyarakat, bahwa penindasan, pelanggaran HAM, kesewenang-wenangan dilakukan oleh penguasa. Memang dalam kurun waktu ini banyak kasus-kasus seperti penghapusan becak dan angling darmo, pengusuran tanah,[33] masalah perburuhan, pem-PHK-an yang kesemuanya tanpa perlawanan pihak yang ditindas.
Strategi “melingkar” ini memang berhasil – walupun tidak maksimal, seperti yang dijelaskan diatas, kampus tidak mampu untuk diliberalisasikan -- mengusik hati para mahasiswa yang masih ada di dalam kampus untuk kembali terlibat dalam gerakan-gerakan mengkritisi, menentang kebijaksanaan penguasa. Awal-awal 1990 mulai muncullah organisasi mahasiswa “ilegal” bagi rejim. Ini merupakan perkembangan dari organisasi-organisasi bentukan gerakan mahasiswa akhir 1986–1990, yang berupa komite-komite aksi. Gerakan mahasiswa mencoba melakukan konsolidasi ditingkat nasional dan mulai mempermanenkan organ yang ada. Di Yogyakarta muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY), di Surabaya muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS), di Manado lahir Forum Komunikasi Mahasiswa Manado (FKMM), dan organ-organ lain di Jakarta, Bandung, Solo, Semarang.
Tahun 1990-an. Pada masa ini tersaksikan kemajuan penting GM pada masa Orde Baru . Metode aksi massa dan pengorganisiran telah meluas. Polarisasi telah terjadi dalam jaringan GM Secara internal GM yang berbasis di kapus (SMPT, sesuai dengan watak organisasinya, mewakili kecenderungan moderat) dan mengalami keterasingan dari dinamika Gerakan Mahasiswa. Arena pergulatan pun berpindah ke luar kampus dan mulai membangun kontak dangan basis massa rakyat bawah  yang tertindas oleh kediktatoran Orde Baru.
Yang menarik dicatat adalah merebaknya kritisisime yang luas terhadap model pemerintahan kapitalis rejim Orde Baru. GM mulai mengalami "ideologisasi" sebagai hasil dari pemahaman atas problem masyarakat serta orientasi dan tindakan politiknya. Radikalisme GM mulai dipertajam dengan keterlibatan dalam aksi-aksi advokasi kasus-kasus rakyat seperti Kedung Ombo, atau potes naikknya tarif listrik dan makin beratnya beban ekonomi rakyat. Ideologi populisme mulai mewarnai GM pada masa ini, metode tindakan politiknya adalah aksi massa. Radikalisme ini mulai melunturkan sekaligus menelan konservatisme kelompok studi yang semata berkutat pada dataran teoritis tanapa melakukan tindakan politik ke arah perubahan masyarakat. Polarisasi pun menajam di tubuh GM, yang kiranya perlu dibahas sedikit disini.

II.d. Tentang Polarisasi Gerakan mahasiswa[34]
Kesalahan cara memandang gerakan, yakni memandang gerakan hanya dari satu seginya saja, yakni segi yang negatif, bisa mengakibatkan hilangnya arah positif gerakan. Dan bila ini dibiarkan, akan mengakibatkan hancurnya semangat berjuang. Singkatnya: mengakibatkan hancurnya pergerakan itu sendiri. Adalah sungguh salah bila memandang gerakan dari satu seginya saja, apalagi bila  bukan merupakan hasil dari kesimpulan dialektika sejarah. Harus dicamkan dalam-dalam, bahwa kenyataan/realitas apapun memiliki dua sisi, sisi yang negatif dan sisi yang positif; di dunia ini, tidak ada satu hal ihwal pun yang bersegi satu, yakni hanya segi negatifnya saja. Dan gerak (motion) maju sejarah  merupakan hasil pergulatan (contradictions) segi yang positif dengan segi yang negatif. Akhirnya, dalam pergerakan yang memilki semangat yang tinggi--militansi yang tinggi-- segi positif sekecil apa pun (apalagi bila besar) harus  diusahakan agar dikondisikan, dikonsolidasikan dan dimanfaatkan untuk mendorong maju pergerakan, merevolusionerkan pergerakan.
Kesalahan cara memandang ini disebabkan karena lemahnya alat analisa kaum pergerakan:
1.       Tidak dapat membedakan segi-segi yang positif dengan segi-segi yang negatif di dalam sejarah pergerakan;
2.      Tidak mau mengakui bahwa tahap-tahap sejarah pergerakan merupakan gerak yang dihasilkan oleh pergulatan segi-segi yang positif dengan segi-segi yang negatif;
3.      Terjerumus pada jebakan suatu gejala sesaat(snapshot), yang hanya dipandang segi negatifnya saja, tidak bisa dipandang segi positifnya;
4.      Idealis-romantis-penyedih dalam memandang polarisasi, seolah-olah polarisasi dianggap sesuatu yang negatif, sesuatu yang tidak boleh terjadi. Padahal, harus diakui, bahwa polarisasi merupakan konsekuensi logis dari ideologi, garis politik dan keorganisasian pergerakan. Polarisasi jelas menghasilkan unsur positif (unsur maju) dan unsur negatif (unsur konservatif dan reaksioner), itu pasti. Jadi, menangisi polarisasi, menangisi unsur konservatif dan reaksioner;
5.      Tidak dapat memanfaatkan--terutama mengkonsolidasikan-- unsur positif yang dihasilkan oleh sejarah pergerakan (salah satunya, yang dihasilkan oleh polarisasi) untuk mendorong maju pergerakan, mati kutu.

Adapun hal-hal positif, ruang demokrasi yang berhasil dikuakkan oleh pergerakan progresif kerakyatan adalah :
·         Sentimen kerakyatan lebih populer kembali ditengah-tengah massa. Bahkan rejim Orde Baru pun kini lebih giat lagi berdemagogi soal kerakyatan.
·         Tingkat sosialisasi politik, baik langsung maupun tidak langsung, mulai meluas ke segala sektor masyarakat. Rakyat kini mulai lebih sadar akan bobroknya penguasa dan mendambakan alternatif pengganti. Inilah yang disebut sebagai kevakuman idiologi.
·         Tngkat mobilisasi, pengerahan massa dalam tingkat tertentu sudah tidak dapat lagi dikendalikan oleh rejim Orde Baru. Aksi massa, baik yang diorganisir maupun yang tidak, mulai banyak dilancarkan oleh berbagai sektor masyarakat.
·         Tingkat militansi dan radikalisme massa  mulai meningkat yang tidak dapat dihentikan oleh represi penguasa.
·         Pembentukan organisasi massa tandingan (alternatif), dalam tingkat tertentu,  sudah dapat dilaksanakan dan dalam beberapa kasus, sudah tidak bisa dikendalikan lagi oleh diktator Soeharto.
·         Unsur-unsur maju dikalangan gerakan, baik yang sudah menyatakan diri maupun yang masih bimbang merupakan mayoritas.

Singkatnya, polarisasi haruslah dipandang sebagai lompatan kualitatif GM berikut konsekuensi logis dari pemilihan idiologi, politik dan organisasinya.[35]
Kemudian, sejak munculnya organisasi-organisasi diatas, gerakan mahasiswa semakin menguat. Aksi-aksi mahasiswa mulai membesar kembali, energi perlawanan mahasiswa timbul kembali. Di Yogyakarta pertengahan tahun 1992, 12 ribu mahasiswa Universitas Gajah Mada dan universitas lain di Yogya didampingi rektor UGM -- Prof. Koesnadi Harjosoemantri -- melakukan rally dari kampus UGM menuju DPRD I Yogyakarta, memprotes diberlakukanya Undang-undang Lalu Lintas No. 14/1992. Tahun 1993 ribuan mahasiswa – mayoritas mahasiswa Islam – menduduki Gedung DPR/MPR, menuntut SDSB dihapuskan. Menteri Sosial waktu itu, Inten Soeweno, dengan menitikkan air mata mencabut pemberlakuan SDSB di depan anggota DPR sementara diluar gedung, ribuan mahasiswa terus menjalankan aksinya.
Satu tahun kemudian, mahasiswa diberbagai daerah memprotes dibredelnya Tempo, Detik, dan Editor.  Beberapa aksi direpresi oleh militer, seperti yang terjadi di Jakarta. Namun demikian aksi-aksi mahasiswa terus berlanjut.  Tahun 1996, tepatnya bulan April, di Ujung Pandang, mahasiswa yang memprotes kebijaksanaan kenaikan tarif transportasi ditembaki oleh militer, sekitar 7 mahasiswa tewas dalam insiden tersebut. Aksi ini telah menimbulkan solidaritas di kalangan mahasiswa lain di berbagai daerah, seperti Jakarta, Surabaya, Lampung, Yogyakarta, Solo, Semarang, bahkan di Yogyakarta sempat terjadi bentrokan dengan militer.
Secara organisasi, gerakan mahasiswa juga mengalami proses kemajuan, konsolidasi didalam dan diluar kampus mulai dilakukan dan dibentuk organ mahasiswa nasional. Pada bulan Agustus 1994, dideklarasikan organ mahasiswa nasional, Solidaritas  Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Sejak berdirinya,  organ ini merupakan momentum bagi gerakan mahasiswa  Indonesia untuk kembali menjadi gerakan politik. Ini dapat kita lihat dari program-program SMID seperti menuntut di cabutnya Dwi Fungsi ABRI dan paket 5 UU Politik 1985, yang merupakan pondasi dari rejim Soeharto[36]. Dan sejak saat ini aksi massa “dikukuhkan” menjadi metode perjuangan gerakan mahasiswa. Dalam perkembanganya SMID kemudian berafiliasi dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Periode 1994 dapat dikatakan merupakan masa keterbukaan politik dan merupakan kemajuan penting dalam gerakan perlawanan rakyat.  Kemajuan-kemajuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
·         Sentimen anti kediktoran rejim Orde Baru Soeharto mulai meluas.
·         Keberanian rakyat untuk mempertahankan hak-haknya semakin tumbuh.
·         Jaringan dan wadah-wadah perlawanan mulai dibentuk diberbagai tempat dan sektor masyarakat.
·         Watak kerakyatan dalam perlawanan demokratik mulai muncul sebagai pendorong utama untuk memaksakan keterbukaan dengan mulai terangkatnya isu perburuhan dan tani (pertanahan).
·         Unsur-unsur demokratik dan kerakyatan dalam perlawanan telah mampu berkembang dan berdiri di garda depan, baik dalam skala sektoral maupun wilayah tertentu.[37]

Sementara di dalam kampus mulai dibentuk organ mahasiswa sektor kampus.  Sebelumnya selama kurun waktu 1979-1995 hanya ada lembaga mahasiswa formal yang diakui oleh pemerintah, yaitu Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Tahun 1995 mulai dirintis berdirnya kembali Dewan Mahasiswa (Dema), yang sejak diberlakukannya NKK/BKK dimatikan keberadaannya.  Maka muncullah Dema UGM, Dema UI, Dema USD. Namun sebelum  konsolidasi ini  selesai,  meletuslah  peristiwa 27 Juli 1996. Setelah “Peristiwa Sabtu Kelabu”,  rejim Soeharto memburu-buru aktivis mahasiswa radikal dan aktivis PRD yang difitnah sebagai dalang peristiwa tersebut. Dalam kurun waktu 1996-akhir 1997, dapat dikatakan gerakan mahasiswa tiarap.  Kalaupun ada aksi, hanya sebatas dilakukan oleh kelompok-kelompok mahasiswa radikal dengan kembali memakai komite aksi yang bersifat “musiman” untuk terus melakukan perlawanan.


III. Gerakan Mahasiswa 1998: Dalam Pergulatan Menuntaskan Revolusi Demokratik[38] yang “Terinterupsi”[39]
Atmosfer radikalisme politik mempengaruhi dinamika politik parlementer partai-partai tradisionil Orde Baru. Kemunculan Megawati Soekarnoputri sebagai pimpinan PDI yang mewakili "arus bawah" menjadikan  pertarungan melawan kediktatoran Suharto memiliki dua arena. Pertama, parlementer melalui program-program PDI dan, kedua, ekstra-parlementer melalui aksi-aksi massa sektor rakyat yang ikut digalang GM kerakyatan. Bahkan menjelang pemilu 1997 ketegangan antara rakyat dan kediktatoran semakin memuncak. Partai-partai baru bermunculan (PRD dan PUDI) walau dibawah intimidasi represi rejim Orde Baru, di tengah gemuruh aksi berbagai sektor rakyat sepanjang tahun 1996-1997.
Puncak ketegangan itu adalah, peristiwa 27 Juli 1996 berupa perebutan paksa kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta, yang didahului dengan tindakan politik reaksioner kediktatoran dalam mendongkel paksa Megawati melalui konggres rekayas PDI di Medan. Aksi massa yang merebak mendukung Megawati dan simpati dari kalangan luas elemen masyarakat ditambah dukungan dari kalangan pro-demokrasi telah menjadi ancaman bagi kekuasaan kediktatoran. Namun terbukti, ofensi balik yang dilancarkan oleh Orde Baru dengan menangkap, menculik, memenjarakan aktivis pro-demokrasi (dan juga elemen GM) tak mampu meredam ketidakpuasan politik rakyat terhadap pemerintahan diktator.
Sejak Juli 1997 krisis ekonomi global[40] ikut menyapu Indonesia, nilai rupiah melemah terhadap dolar AS, harga-harga barang kebutuhan pokok mulai merangkak naik, banyak perusahaan yang gulung tikar akibatnya banyak buruh yang ter-PHK. Dampak ini secara langsung juga menimpa mahasiswa, terutama mahasiswa perantauan, harga makanan melonjak, kertas naik, belum lagi  orang tuanya yang  di PHK atau perusahaan mereka yang bangkrut. Krisis ekonomi ini serta desakan IMF untuk reformasi ekonomi  membuat Orde Baru tersudut. Bahkan hingga SU MPR Maret 1998 tidak ada perbaikan kehidupan yang memicu kemarahan rakyat.
Dari kondisi seperti ini, aksi-aksi mahasiswa mulai marak kembali, dengan tuntutan-tuntutan ekonomis, seperti turunkan harga. Akan tetapi kelompok mahasiswa radikal yang masih minoritas secara kuantitatif tetap melancarkan tuntutan politik, seperti suksesi kepemimpinan nasional, pencabutan Dwi Fungsi ABRI.  Secara perlahan, bersamaan dengan krisis ekonomi yang semakin memuncak, usaha-usaha kelompok radikal untuk menarik dari kesadaran “ekonomis” menjadi kesadaran politik mulai berhasil. Aksi-aksi mahasiswa yang semakin membesar mulai meneriakkan tuntutan politik, meminta Soeharto turun. Ini merupakan sejarah maju dalam gerakan mahasiswa di Indonesia.  Tuntutan yang selama ini “diharamkan” tidak ditabukan lagi. Seperti halnya dalam tulisan Aspinal tentang  tuntutan mahasiswa yang semakin politis:
Tipe demostrasi mahasiswa merupakan reduksi dari naiknya harga barang, menuntut dihapuskannya korupsi, kolusi dan nepostisme, dan menuntut reformasi. Dari awal kebanyakan protes secara ekplisit menuntut Soeharto turun dari jabatan sebagai presiden ( sebuah ekpresi dari sentimen ini dapat dilihat pembakaran gambar Soeharto pada sebuah aksi di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 11 Maret).[41]

Dalam kurun waktu awal Februari sampai Mei 1998, secara kuantitatif dan kualitatif gerakan mahasiswa naik secara dratis, dengan tuntutan yang sudah politis. Di kampus UI, Depok, dari tanggal 19-26 Maret terjadi aksi besar yang hampir menyamai aksi di tahun 1966 [42]. Pada hari terakhir Sidang Umum MPR 1998, di Yogyakarta, sebuah patung raksasa berwajah Soeharto dibakar oleh para demonstran, sekitar 50 ribu mahasiswa memenuhi Balairung UGM dalam aksi tersebut. Pada hari yang sama juga terjadi aksi-aksi di Solo, Surabaya, Malang, Manado, Ujung Pandang, Denpasar, Padang, Purwokerto, Kudus [43].
Dalam perkembangannya aksi-aksi mahasiswa semakin radikal. Di berbagai wilayah terjadi bentrokan antara demostran dengan militer. Di Universitas Sebelas Maret Surakarta dan di kampus Universitas Lampung, pada tanggal 17 Maret 1998 terjadi bentrokan antara mahasiswa-- yang ingin melanjutkan rally keluar kampus-- dengan militer. Sementara di Yogyakarta, tanggal 2 - 3 April bentrokan terjadi di Boulevard UGM dan bentrokan berulang pada tanggal 13 April ketika demonstran dikejar-kejar dan ditembaki oleh militer sampai ke dalam kampus. Hampir 8 jam kampus UGM dikusai oleh militer. Di Medan juga terjadi bentrokan serupa, dalam aksi tanggal 24 April demosntran melempari militer dengan molotov, akibatnya  kampus Universitas Sumatera Utara (USU) diliburkan beberapa hari. Pada bulan Mei aksi-aksi mahsiswa semakin bertambah banyak, kampus-kampus yang selama ini apolitis ikut terlibat dalam aksi-aksi. Peristiwa paling tragis terjadi tanggal 12 Mei ketika terjadi aksi di Universitas Trisakti, Jakarta, 6 mahasiswa gugur diterjang peluru militer. Peristiwa ini kemudian menyulut perlawanan dari sektor rakyat lain, tanggal 13-14 Mei Jakarta lumpuh total dengan adanya kerusuhan masal. Sementara pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, tanggal 2 Mei, terjadi bentrokan di Jakarta, Medan, Yogyakarta, Jember, Malang dan beberapa kota lain[44]. Antara tanggal 1 Maret sampai 2 Mei tercatat 14 bentrokan antara mahasiswa dan militer yang terjadi di Jawa, Sumatera, Bali dan Lombok [45]. Ketika hari-hari terakhir Soeharto akan “lengser”, gedung DPR/MPR dikuasai mahasiswa, ratusan ribu mahasiswa menggelar mimbar bebas di gedung tersebut. Sementara di Yogyakarta, sehari sebelum Soeharto turun, sekitar satu juta rakyat – yang dipelopori mahasiswa Yogyakarta -- memenuhi alun-alun Utara, menuntut Soeharto mundur. Tercatat selama kurun Februari sampai Mei terjadi 135 kali aksi mahasiswa dengan 36 kali diantaranya terjadi bentrokan dengan militer. Aksi-aksi tersebut menyebar di Jawa meliputi 94 kali, di Sumatera terjadi 20 kali, 12 kali aksi terjadi di Sulawesi, di Bali dan NTB terjadi 4 kali aksi, sementara di Irian Jaya dan Kalimantan terhitung 2 kali aksi[46].
Masa-masa ini merupakan masa-masa yang revolusioner bagi gerakan mahasiswa. Aksi-aksi mahasiswa dibeberapa tempat bahkan sudah menguasai RRI seperti yang terjadi di Surabaya, Semarang, Padang. Sementara di Medan, mahasiswa menguasai bandar udara.   Dapat dikatakan aktivitas penerbangan, terutama penerbangan internasional, lumpuh total. Dalam kurun waktu ini juga bermunculan beratus-ratus komite mahasiswa, besar maupun kecil. Namun sayangnya gerakan yang sudah membesar ini hanya mampu menghasilkan pengalihan jabatan presiden dari Soeharto ke Habibie. Kelemahan-kelemahan apa yang menyebabkan gerakan mahasiswa gagal melakukan perubahan total, nanti akan kita bahas lebih lanjut.
Kita lanjutkan proses sejarah gerakan mahasiswa ’98.  Setelah berhasil “melengserkan” Soeharto, secara kualitatif dan kuantitatif gerakan mahasiswa menurun, hampir 6 bulan gerakan seperti tenggelam tertelan tanah. Gerakan kembali bangkit mendekati Sidang Istimewa MPR, pertengahan Nopember. Pada tanggal 13-14 Nopember 1998 aksi besar-besaran terjadi di Jakarta.  Sekitar satu juta mahasiswa dan rakyat berkumpul didepan kampus Universitas Atmajaya, Jakarta.  Mereka akan melakukan rally ke gedung DPR/MPR. Kemudian meletuslah insiden Semanggi, ketika mahasiswa yang akan meninggalkan Universitas Atma Jaya ditembaki oleh militer, korban kembali berjatuhan. Gerakan kali ini disokong penuh oleh rakyat – disamping rakyat terlibat aktif dalam aksi-aksi, ikut membuat barikade, mengejar pamswakarsa, juga memberikan bantuan logistik  --, kerusuhan seperti Mei tidak terjadi karena mahasiswa berhasil memimpin. Gerakan tidak hanya terjadi di Jakarta, dibeberapa daerah seperti Yogyakarta, markas militer seperti Korem sempat dikuasai mahasiswa selama beberapa jam, sementara di tempat lain mahasiswa berhasil memaksa RRI menyiarkan tuntutan-tuntutan mereka. Represi memang hanya terjadi di Jakarta, sedangkan gerakan di daerah tidak mengalami represi, secara kualitatif dan kuantitatif gerakan di daerah juga tidak membesar seperti pada bulan Mei ’98. Kembali tuntutan mahasiswa seperti cabut Dwi Fungsi ABRI, Tolak SI dan pemerintahan transisi belum  berhasil digolkan.
Sejak Nopember 1998 sampai Juli 1999 praktis gerakan mahasiswa mati, bahkan momentum pemilu dilewatkan dengan “manis”.  Memasuki akhir Juli, tepatnya ketika peringatan 27 Juli, gerakan mahasiswa mulai bangkit kembali. Kota-kota seperti Jakarta, Surabaya, Solo, Yogyakarta, Bandung, Tasik, Purwokerto juga melakukan aksi, dan di beberapa daerah bisa membangun front yang luas. Aksi besar kembali muncul ketika peringatan 17 Agustus.  Aksi-aksi kembali terjadi di berbagai kota.
Aksi ini semakin membesar ketika militer kembali ingin menancapkan kekuasaannya dengan mengajukan RUU PKB.   RUU yang jelas antidemokratis ini disambut dengan aksi-aksi penolakan yang hebat.  Aksi-aksi ini dilakukan bukan hanya oleh mahasiswa dan LSM-LSM, tapi juga rakyat.  Terbukti aksi tanggal 23 September berhasil menggerakkan kaum miskin kota untuk melawan militerisme dengan melakukan aksi penyerangan terhadap tentara yang sedang menghadang aksi mahasiswa. Mereka melempari tentara dengan molotov dan membuat barikade-barikade. Mahasiswa, disisi lain, hanya dapat bertahan di kampus Atma Jaya dan tidak dapat memimpin massa.   Sementara aksi penolakan terhadap RUU PKB  tidak hanya berlangsung di Jakarta, takpi juga di daerah-daerah.  Bahkan di Palembang dan Lampung, aksi ini meminta korban nyawa 3 mahasiswa.  Aksi anti militerisme ini diikuti aksi-aksi yang lebih hebat seiring diadakannya Sidang Umum MPR pada bulan Oktober ini.  Aksi-aksi mahasiswa dan rakyat membawa isu penolakan pertanggungjawaban Habibie dan pencabutan Dwi Fungsi TNI.   Kembali terjadi bentrokan dengan militer pada hari Jumat, 15 Oktober. 

III.a. Pelajaran dari Gerakan Mahasiswa 1998

Ada beberapa pelajaran yang dapat diambil dari gerakan mahasiswa 1998 sehingga gagal menuntaskan revolusi demokratik.
Pertama, lemah dalam ideologi[47]. Dari basis historis, gerakan mahasiswa ’98 muncul karena adanya krisis ekonomi. Mahasiswa bergerak karena harga kebutuhan pokok naik, kost-kostsan menjadi mahal, orang tua mereka terkena PHK.  Keadaan ini secara langsung berdampak bagi mahasiswa. Maka tidak heran kalau sebagian besar  mahasiswa “baik-baik”, mahasiswa generasi “dingdong” ini ikut turun kejalan. Kesadaran “ekonomis” ini kemudian berhasil dibawa ke  kesadaran politik.  Injeksi kesadaran ini dilakukan  oleh beberapa kelompok radikal – kelompok ini sejak tragedi 27 Juli 1996 tetap melakukan perlawanan dan mengangkat isyu-isyu politik – tapi injeksi ini pun tidak tuntas, karena tidak didukung oleh kesadaran ideologis.  Ketika “trend” gerakan menurun maka  aktivitas gerakan menurun pula.  Hal ini terjadi seiring dengan menurunnya kuantitas mahasiswa yang terlibat dalam demonstrasi-demonstrasi .
Ini berbeda dengan gerakan ‘90-an, dimana gerakan berawal dari kelompok-kelompok diskusi. Dari diskusi-diskusi yang mereka lakukan, mahasiswa menjadi sadar tentang apa yang harus dilakukan, bahwa sistem korup inilah yang menyebabkan negara berada dalam puncak krisis. Karena didukung kesadaran ideologis maka kontinuitas gerakan lebih bisa terjaga. Disamping itu perdebatan-perdebatan teoritikpun terjadi secara dinamis, sehingga selalu timbul perspektif-perspektif dan inisiatif-inisiatif baru.
Lemahnya pemahaman idioploi ini karena juga menanggung beban sejarah akan frame gerakan moral. Arief Budiman merumuskan peran ini seperti seorang resi yang bertapa di gunung (kampus), ketika ada kekacauan di suatu kampung (masyarakat) maka ia turun gunung menyelesaikan persoalan lalu pergi ke gunung lagi.[48]Atau berperan seperti koboi yang masuk ke sebuah kota untuk menghalau penjahat. Setelah penjahatnya dapat dikalahkan maka ia mengembara lagi. Pandangan ini membawa konsekuensi serius di tubuh gerakan mahasiswa. Karena mengaanggap dirinya gerakan moral, mahsiswa hanya sebatas memberi saran, nasehat dan peringatan --yang tentu saja akan dibiarkan oleh rejim--[49] tanpa terlibat langsung apalgi melibatkan rakyat yang ia bela. Tidak heran kalau ada sementara pihak yang mengatakan bahwa mahasiswa hanya bisa menumbangkan tanp sanggup membangun suatu tatanan pengganti. Hal ini juga memberi jalan --semacam papan loncatan-- luas bagi oportunis politik untuk bermain setelah mahasiswa menjatuhkan Suharto. Adanya oporunis politik merupakan juga kesalahan gerakan mahasiswa yang memungkinkan hal itu terjadi, sekaligus sebagai akibat logis dari format gerakan moral. Format ("ideologi") ini pula mempasifkan rakyat. Sebagaimana layaknya seorang koboi, rakyat hanya menjadi penonton penyelesaian masalah mereka. Di kemudian hari jika ada masalah lagi yang timbul mereka tidak akan dapat menyelesaikan selain menunggu dewa penolongnya datang. Inilah yang gerakan moral lakukan pada rakyat. Terlihat ketika Rejim Suharto dengan efektif menggunakan isu ini dengan mengatakan bahwa "GM adalah gerakan murni " sedangkan bergabung dengan rakyat -yang adalah "perusuh" -membuat gerakan jadi ternodai. Betapa memilukan ketika rakyat, yang katanya dibela mahasiswa, mencerca mahasiswa  karena mereka enggan bergabung dengan massa yang telah tumpah di jalan-jalan. Massa yang tidak terpimpin ini sangat mudah ditebak hasilnya : kerusuhan. Gerkan moral turut bertanggung jawab atas aksi anarkisme massa, karena menolak memimpinnya. Hal ini tidak lain disebabkan oleh idologi gerakan moral yang mengisolasi mahasiswa dari massa rakyat.
Kedua, akibat kelemahan ideologi-teori juga berakibat kelemahan strategi taktik. Gerakan menjadi kaku dalam menghadapi gerak sejarah, tidak luwes dalam menghadapi perubahan situasi nasional. Akibatnya banyak momentum-momentum yang seharusnya dimanfaatkan dilewatkan begitu saja.  Momentum pemilu yang seharusnya merupakan kesempatan “berbicara kepada rakyat”, kesempatan untuk menyadarkan rakyat yang terilusi, terlewat begitu saja.. Akibat kekakuan dalam menerapkan stratag dan “ketidakcerdasan” dalam memanfaatkan setiap celah yang ada, lama kelaman gerakan menjadi mati, aksi-aksi tidak ada lagi dengan begitu konsolidasi menjadi lemah. Kelemahan yang cukup besar dalam hal straegi ini adalah tidak menyatu dengan kekuatan rakyat. Perlawanan dibangun hanya sebatas mahasiswa saja tanpa melibatkan rakyat. Hal ini jelas merugikan bagi rakyat yang tidak mendapat pendidikan politik apapun namun menguntungkan bagi militer untuk memprovokasi membuat kerusuhan sekaligus mendapat legitimasi untuk memukul gerakan. Kemudian , karena rakyat tidak dilibatkan , untuk selanjutnya sulit bagi rakyat untuk menggontrol pemimpin yang naik dan menggantikan kediktatoran.
Ketiga, sektarianisme gerakan. Dapat kita lihat sendiri gerakan masih terpecah-pecah sampai saat ini. Walupun gerakan bisa membesar, hal ini lebih disebabkan oleh momentum dan isu yang sama. Ini akan jelas apabila kita melihat data aksi mahasiswa 28 Oktober 1998 berikut ini.

Tabel 1: Data Aksi Mahasiswa



Daerah

Jumlah
Tuntutan
Jakarta
14.000 orang
Tolak SI
Cabut Dwi Fungsi ABRI
Ganti Habibie dengan presidium pemerintahan transisi
Adili Soeharto
Bandung
3.500 orang
Tolak SI
Cabut Dwi Fungsi ABRI
Ganti Habibie dengan presidium pemerintahan transisi
Adili Soeharto
Yogyakarta
1.300 orang
Tolak SI
Cabut Dwi Fungsi ABRI
Ganti Habibie dengan presidium pemerintahan transisi
Adili Soeharto
Semarang
2.000 orang
Cabut Dwi Fungsi ABRI
Percepat Pemilu
Adili Soeharto c.s
Cabut Tap. Soeharto/Habibie sebagai presiden dan wapres
Surabaya
1.100 orang
Tolak SI
Cabut Dwi Fungsi ABRI
Pertagungjawaban Soeharto
Bandar Lampung
300 orang
Tolak SI
Cabut Dwi Fungsi ABRI
Adili Soeharto c.s
Palembang
700 orang
SI untuk ganti Habibie dengan presidium pemerintahan transisi
Percepat Pemilu
Cabut Dwi Fungsi ABRI
Adili Soeharto c.s
Manado

500 orang
Cabut Dwi Fungsi ABRI
Adili Soeharto c.s
Sumber: Tempo, 9 Nopember 1998


Dari data diatas jelas adanya tuntutan yang sama – tolak SI, cabut Dwi Fungsi ABRI, adili Soeharto – dan adanya satu momentum – hari Sumpah Pemuda, 28 Okotober –yang menyebabkan gerakan membesar dan meluas. Bukan pula karena adanya front diantara organisasi gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa tetaplah terpecah-pecah. Memang telah dilakukan usaha untuk membangun front, misalnya Rembuk Mahasiswa Nasional Indonesia (RMNI) di Bali dan Surabaya, tapi ini tidak lebih sebagai ajang romantisme dan saling mengklaim bahwa kelompok merekalah yang paling berjasa. Mungkin kelahiran Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMND) dapat menghilangkan watak sektarianisme dan bisa membangun front yang sesungguhnya.
Sektarianisme juga menyebabkan gerakan menjadi elitis, tidak mau bergabung dengan sektor rakyat lainya. Akibatnya, pertama, rakyat yang berperan aktif dalam demonstrasi-demonstrasi tidak terpimpin, tidak heran kalau massa-rakyat melakukan pengrusakan toko-toko etnis minoritas, jalan tol dan fasilitas umum lainya. Kedua,  kekuatan mahasiswa dan massa rakyat yang seharusnya bersatu menjadi terpecah belah.  Banyak diantara organisasi mahasiswa yang masih termakan propaganda militer, apabila aksi mahasiswa bergabung dengan sektor rakyat lainnya akan menimbulkan kerusuhan. Kesalahan-kesalahan seperti ini  tetap terulang dan terjadi juga pada gerakan-gerakan mahasiswa sebelumnya.
Keempat, kelemahan dalam hal organisasi :tidak adanya organ nasional. Apa yang ada  saat ini, semisal FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia) atau LMND (Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi), hanyalah sebatas jaringan antar organ-organ mahasiswa di kota-kota atau sebatas front. Dapat dikatakan setelah SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) “dihancurkan” setelah peristiwa 27 Juli 1999, belum ada organ nasional yang terbentuk.
Akibat tidak adanya organ nasional ini,  berdampak pada tidak adanya kesatuan aksi diantara gerakan mahasiswa yang ada. Masing-masing gerakan berjalan sendiri-sendiri – baik tuntutan maupun  strategi taktik. Tidak adanya kesatuan aksi, jelas sekali mengakibatkan  gerakan menjadi terfragmentasi, tidak jelas apa yang sebenarnya akan dituju. Akibat selanjutnya, disamping gerakan menjadi lemah juga membingungkan massa rakyat sendiri. Kita ambil contoh sikap gerakan mahasiswa yang terpecah pecah  dalam menghadapi momentum pemilu 1999.  Bentuk organisasi yang adapun hanya sebatas komite aksi. Padahal yang dibutuhkan sebuah organisasi yang memiliki program, strategi-taktik yang jelas, hingga isu dan tuntutan. Akibatnya kesatuan gerak tidak dapat dijaga. Hal lain, gagalnya mahasiswa mengambil kepemimpinan politik -lalu diambil oportunis/reformis gadungan- untuk menuntaskan reformasi total.
Dalam menghadapi pemilu pun, gerakan mahasiswa terbagi menjadi dua kelompok yang kesemuanya mempunyai argumen masing-masing. Kelompok pertama menerima pemilu.  Pemilu, menurut mereka,  merupakan jalan terbaik  untuk memperbaiki situasi yang telah ada. Kelompok mahasiswa ini kemudian bergabung dengan pemantau pemilu yang menjamur menjelang Pemilu bulan Juni 1999, seperti Unfrel, Forum Rektor, KIPP. Kelompok kedua, tidak setuju dengan proses pemilu. Pemilu dianggap tidak akan menyelesaikan masalah dan pasti tidak berjalan dengan jurdil karena masih dilaksanakan oleh sisa-sisa rejim Orba.  Maka pemilu harus ditolak. Kelompok ini kemudian terbelah menjadi dua, membiarkan momentum pemilu berjalan begitu saja, karena apabila terlibat dalam momentum pemilu dianggap ikut melegitimasi pelaksanaannya. Sementara kelompok lain yang tidak percaya pemilu,  melakukan aksi-aksi massa untuk menolak pemilu yang diselenggarakan rejim Habibie. Rakyat sendiri menghendaki mahasiswa paling tidak menfokuskan tuntutannya.  Berdasarkan “jajak pendapat” yang dilakukan majalah Tempo, 65% menghendaki hal itu dan 60% menghendaki mahasiswa berkoalisi dengan kelompok lain[50].
Kelima, lemah dalam basis massa. Seperti yang sudah dibahas diatas, sebagian besar  mahasiswa yang bergabung dalam Gerakan Mahasiswa ’98 adalah akibat “trend” yang ada.  Tidak heran kalau massa yang ada  bukanlah massa yang terorganisir melainkan massa yang termobilisasi.  Hal ini berakibat  melemahnya basis massa sejalan dengan dengan melemahnya trend gerakan. Sementara itu organ-organ mahasiswa yang ada tidak mengantisipasi hal ini, tidak cepat melakukan konsolidasi terhadap massa yang masih cair,  dan tidak segara mengadakan pendidikan-pendidikan ideologi teori. Aktivitas aktivis mahasiswa hanya berkutat di sekitar aksi dan  pergi ke kota satu ke kota lain dengan alasan konsolidasi.  Sementara kampus yang “melahirkan” mereka dan disanalah sebetulnya basis mereka, ditinggal begitu saja.  Akibatnya, gerakan menjadi tidak populis diantara mahasiswa sendiri. Tidak heran kalau sampai saat ini banyak sekali organisasi mahasiswa yang hanya papan nama belaka.
Keenam, ini sebetulnya bukan kesalahan gerakan mahasiswa semata, tapi kesalahan kekuatan radikal secara umum, yaitu tidak adanya partai pelopor yang sanggup memimpin. Situasi periode Februari sampai Mei adalah situasi yang “revolusioner”, keadaan ini bisa berubah setiap detik – orang sebelumnya apolitis saat itu berbicara politik, ratusan komite-komite perlawanan terbangun.  Tapi karena tidak ada satu kekuatan  yang mampu memimpin,  situasi ini dapat dikatakan tidak menghasilkan apa-apa. Pada saat-saat seperti ini dibutuhkan satu peranan dari partai pelopor untuk memimpin pengambilalihan kekuasaan.  Ini sekali lagi hanya bisa dilakukan oleh partai pelopor, tidak oleh komite-komite aksi. Hal ini berarti mahasiswa harus, minimal,  beraliansi dengan partai pelopor. Jika tidak GM hanya akan menjadi batu loncatan bagi oportunis-oportunis politik semata.[51]
Kita dapat melihat kelemahan ini dalam  peristiwa Mei ’68 di Prancis. Situasi Mei ’98 di Indonesia mirip dengan situasi di Prancis pada bulan yang sama tahun 1968. Ketika itu di Prancis ratusan mahasiswa turun ke jalan-jalan dan gerakan ini kemudian mampu memobilisasi kelas pekerja untuk melakukan pemogokan, bahkan sekitar 15 pabrik sudah berhasil direbut.  Puncak dari “revolusi” ini: kampus-kampus bisa dikuasai mahasiswa, sekitar 10 juta buruh melancarkan aksi pemogokan nasional [52]. Presiden De Gaulle sudah melarikan diri ke Jerman Barat. Kesempatan ini ternyata disia-siakan oleh kekuatan radikal. Bedanya kalau di Indonesia belum ada partai pelopor – kalaupun ada belum bisa bergerak bebas  -- akan tetapi di Prancis partai pelopor itu sudah ada, tapi mereka malah “bersembunyi” ketika situasi sedang revolusioner.
Disamping kelemahan-kelemahan diatas,  ada juga kelebihan-kelebihan gerakan mahasiswa ’98 dibanding gerakan mahasiswa sebelumnya.
Pertama, sikap tegas terhadap militerisme. Sikap gerakan mahasiswa '98 terhadap militer tidak ada kompromi, sejak awal mahasiswa menuntut pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Sikap tegas ini membawa gerakan mengambil sikap tegas dan tidak melakukan kolaborasi dengan militer. Ini tentunya berbeda dengan gerakan mahasiswa sebelumnya. Gerakan mahasiswa ’66 jelas melakukan kerjasama dengan militer, begitu juga gerakan mahasiswa ’74.  Gerakan mahasiswa ’78 walaupun tidak melakukan kolaborasi dengan militer tapi mengambil sikap tidak tegas terhadap militerisme. Rupanya gerakan mahasiswa ’98 telah  belajar dari kesalahan  para pendahulu mereka. Ini tidak lepas dari pengaruh gerakan anti militerisme yang sudah dilontarkan kelompok-kelompok radikal sejak ‘90-an.
Kedua, gerakan mahasiswa ’98 – pada tahap awalnya -- bisa menyebar hampir ke seluruh kota-kota di Indonesia. Dapat dikatakan,  gerakan ’98 merupakan gerakan terbesar setelah gerakan mahasiswa ’66.  Adanya perlawanan yang meluas ini bisa membuat penguasa kalang kabut, daya resistensi pun menjadi semakin kuat dan akhirnya tuntutan mereka untuk memaksa Soeharto lengser juga bisa berhasil. Ini merupakan pengalaman berharga untuk gerakan mahasiswa ke depan. Dua momentum gerakan mahasiswa membuktikan bahwa hanya dengan gerakan yang meluas, gerakan mahasiswa dapat berhasil memperjuangkan tuntutan-tuntutan – dua momentum itu adalah gerakan mahasiswa ’66 yang berhasil memaksa Soekarno turun dan gerakan mahasiswa ’98 yang mampu memaksa Soeharto “lengser”. Dan ini merupakan bukti bahwa tidak cukup gerakan membesar di Ibu Kota saja – pengalaman gerakan ’74 – atau gerakan membesar di daerah – pengalaman gerakan ’78 -- saja, gerakan harus membesar baik di Jakarta – sebagai pusat ekonomi politik – maupun di kota-kota lain sebagai daerah penyangga perlawanan.  Adanya gerakan yang membesar disemua kota juga akan menaikkan moral  perlawanan mahasiswa sendiri dan bisa memobilisasi rakyat dalam jumlah yang lebih besar. Kuantitias aksi pun membesar, seperti dapat dilihat di tabel 2 berikut ini :

Tabel 2

Tahun

1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
Jumlah Aksi
41
29
33
38
65
103
56
154
154
2.292

Sumber : Kronologis Demonstrasi Mahasiswa 1989-1998, LIPI, Jakarta, 1999.


IV. Membangun Organisasi Revolusioner,
Memadukan Teori dan Pratek
Selama ini sering terjadi perdebatan tentang apa yang harus diprioritaskan dalam membangun organisasi mahasiswa yang kuat. Pendapat pertama mengatakan bahwa teori harus didahulukan sebelum kita melakukan aktivitas, karena tanpa teori tidak mungkin dapat dilakukan praktek yang benar. Sementara pendapat lain mengatakan, kita harus mendahulukan praktek, baru kita pelajari teori. Sebenarnya apabila kita cermat dan cerdas, tidak ada pertentangan antara keduanya.  Teori dan praktek  dapat berjalan beriringan. Teori tanpa di praktekkan akan menjadi lembaran-lembaran kertas belaka, begitu juga praktek tanpa didukung oleh teori. Seperti halnya orang buta yang berjalan tanpa tongkat penunjuk,  gerakan tidak akan  mempunyai tujuan yang jelas !
…..adalah kenyataan bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan. Aksi tanpa teori tidak akan efisien atau tidak akan berhasil melakukan perubahan yang mendasar, atau seperti saya katakan sebelumnya kita tidak dapat membebaskan manusia tanpa sadar. Dipihak lain teori tanpa aksi tidak akan mendapat watak ilmiah yang sejati karena tidak ada jalan lain untuk menguji teori kecuali melalui aksi.[53]

IV.a. Membagun Basis Ideologi Kerakyatan
Jadi, pembangunan ideologi-teori dan praktek tidak dapat dipisahkan, keduanya seperti dua sisi mata uang logam yang menjadi satu kesatuan. Ideologi bagi suatu gerakan (tentunya gerakan revolusioner) adalah “kitab suci” yang merupakan pegangan, petunjuk bagi setiap orang yang melibatkan diri dalam gerakan.  Dengan adanya pegangan ideologi,  seseorang menjadi sadar tentang apa yang dikerjakan dan apa yang akan dituju. Untuk sampai pada pemahaman ideologi yang benar, seseorang harus melewati tahapan-tahapan, mempelajari teori-teori yang dianggap bisa menjadi pegangan bagi apa yang akan dikerjakan kemudian hari. Ada baiknya kita renungkan kutipan tulisan dibawah ini.
Perang dingin telah usai. Uni Soviet, yang mempraktekkan sosialisme di dunia lewat Revolusi 1917, mulai mengarah ke kapitalisme[54]. Ini menunjukkan prediksi Marx bahwa kapitalisme akan hancur karena kontradiksi di dalamnya adalah salah. Pada kenyataannya, mereka gagal dalam membangun utopia di bumi ini. Bahkan lebih buruk, hasilnya cuma birokrasi, otokrasi dengan, inefisiensi ekonomi, dan keterasingan manusia. Sangatlah jauh dari gagasannya. Marxisme adalah salah satu ideologi yang mendukung gerakan mahasiswa. Karenanya, matinya Marxisme, memiliki pengaruh yang besar pada gerakan mahasiswa.[55]

Dengan demikian adalah penting bagi gerakan mahasiswa saat ini untuk melakukan diskusi-diskusi tentang teori-teori progresif, membuka kembali buku-buku klasik (tentunya yang revolusioner). Selama ini sebagaian besar aktivis mahasiswa memang disibukkan oleh aksi-aksi, sehingga tidak sempat secara intensif mempelajari teori-teori revolusioner. Tidak heran kalau masih mudah terombang-ambing. Apalagi watak mahasiswa yang masih dominan watak borjuis kecilnya – yang terkenal cengeng, penakut, bimbang. Dengan melakukan pendalaman ideologi-teori,  diharapkan akan semakin mempertebal “iman”, akan semakin yakin bahwa yang dilakukan adalah benar, sehingga akan membawa pada “kemenangan”.  Pendalaman ideologi juga  mampu mengikis watak-watak borjuis kecil – yang cengeng, penakut, bimbang – sehingga  berubah menjadi watak militan dan radikal.
Di samping tujuan diatas – kita sadar terhadap yang kita lakukan –,  pendalaman ideologi-teori sebetulnya berperan untuk lebih memperkokoh dan menyolidkan ikatan dalam organisasi. Karena sebenarnya hanya pemahaman ideologi yang samalah yang dapat  menyatukan kita. Kita berasal dari suku yang berbeda, agama yang berbeda, basis sosial yang berbeda, tapi bisa bergabung dalam organisasi yang sama, jadi jelas ideologilah yang menyatukan kita.
Dalam organisasi tentunya kita perlu menyusun strategi taktik, menganalisa situasi yang berkembang dan menyusun bentuk organisasi yang paling efektif untuk “menyerang”. Tanpa adanya “pisau analisa”,  tentu kita tidak akan dapat melakukannya.  Ideologi-teori inilah pisau analisa tersebut. Kita tidak perlu heran kalau diantara organisasi mahasiswa  terdapat perbedaan dalam   menganalisa situasi nasional,  menentukan strategi-taktik,  bentuk organisasi dan  tujuan organisasi. Ini terjadi karena “kitab sucinya” berbeda serta  “pisau analisanya” berbeda.
Lalu bagaimana untuk membangun kesadaran ideologi-teori ini?
pertama, melalui pendidikan-pendidikan teori progresif. Ini memang sudah biasa dilakukan oleh beberapa organ mahasiswa.  Sekarang “kebudayaan” ini harus diperluas,  lebih diintensifkan dan lebih diprofesionalkan. Kurikulum-kurikulum pendidikan ideologi-teori yang sudah tidak sesuai haruslah diperbarui, disesuaikan dengan kondisi obyektif yang tentunya terus berkembang, begitu juga dengan metode pendidikannya.
Kedua, melakukan diskusi  teori-teori klasik maupun teori terkini. Ini penting agar tidak terjadi kedogmatisan dan pengetahuan aktivis mahasiswa terus bertambah. Apa yang sering menjadi kendala adalah bahasa, kebanyakan literatur-literatur tersebut berbahasa asing. Dari sini maka perlu diadakan program penerjemahan literatur-literatur berbahasa asing, karena semakin banyak yang bisa membaca maka semakin banyak orang yang “tersadarkan”.
Ketiga, tentunya pemahaman ideologi ini tidak bisa kita monopoli. Agar bisa menyebar luas maka diperlukan media, media tersebut adalah terbitan. Bentuk terbitan disini bisa bermacam-macam, bisa majalah,  jurnal,  pamlet, dll. Dengan adanya terbitan,  jangkauan “pendidikan” kita akan menjadi luas.  Hal ini  mengingat kemampuan yang kita miliki sangat terbatas, sedangkan yang perlu kita sadarkan jumlahnya masih mayoritas.

Lenin menekankan tentang keberhasilan dari tulisan tersebut ( tulisan dalam Iskra-pen) diantara para mahasiswa yang berfikiran progresif. Dia menekankan bahwa tulisan itu memainkan peranan penting dalam membangun cara pandang revolusioner dan mengajak kaum muda untuk terlibat dalam aktivitas politik…...[56]
Terbitan-terbitan ini juga sangat penting untuk perang ideologi, apalagi saat ini berbagai ideologi ingin menyebarkan pahamnya di Indonesia. Sampai kapanpun perang ideologi ini akan terus terjadi, ideologi yang kalah dalam pertarungan ini tentu akan tergusur.

IV.b. Membangun Organisasi Revolusioner:
Membangun Organ Mahasiswa Nasional, Membuka Aliansi Dengan Kelas Pekerja
Setiap perjuangan pasti membutuhkan alat untuk mencapai tujuan tersebut. Begitu juga dalam perjuangan gerakan mahasiswa, alat tersebut tidak lain adalah organisasi. Mengapa organisasi? Perjuangan membutuhkan perlawanan yang terorganisir, bukan perlawanan yang spontan, segala sesuatunya harus direncanakan secara matang, disinilah organisasi berperan.
Seperti yang telah dijelaskan, salah satu kelemahan gerakan mahasiswa ’98 dan gerakan mahasiswa sebelumnya adalah   lemahnya basis organisasi. Praktis setelah “crack down” 27 Juli 1996,  aktivitas politik di dalam kampus terhenti, banyak aktivis mahasiswa yang harus meninggalkan kampus, disamping karena dikejar-kejar oleh militer, juga kondisi kampus tidak kondusif lagi.  Sebagian mahasiswa mengalami demoralisasi, mejadi apolitis lagi. Maka gerilya diluar kampus dimulai, walaupun aksi-aksi yang dicoba dibangkitkan kembali tetap berawal dari kampus. Kondisi seperti ini terus berlanjut sampai gerakan mahasiswa membesar, Mei 1998. Sebelum peristiwa 27 Juli, organ-organ “legal” mahasiswa -- seperti pers mahasiswa, senat mahasiswa – “dikuasai” oleh aktivis mahasiswa. Disamping sebagai alat perjuangan, juga untuk mencetak kader. Tidak heran dalam kurun waktu ini banyak aktivis-aktivis mahasiswa   populer tidak lepas  dari organ-organ mahasiswa tersebut. Ketika itu kombinasi antara isu luar kampus dan dalam kampus berjalan dengan seimbang.  Hal ini berdampak gerakan menjadi populis di kalangan mahasiswa sendiri. Perpaduan antara strategi “menguasai” organ kampus,  kombinasi antara isu luar kampus dan dalam kampus, menjadikan gerakan mahasiswa paling tidak  mempunyai basis massa yang real.  Konsolidasi didalam kampus – walaupun hal ini belum selesai, terpenggal peristiwa 27 Juli – dapat berjalan. Sedangkan  basis massa gerakan mahasiswa ’98 dapat dikatakan 90%[57] hanyalah massa yang termobilisasi, tidak ada yang mempunyai basis massa yang jelas dan sampai saat inipun praktis kampus tetap ditinggalkan.
Dari kondisi seperti ini, mau tidak mau gerakan harus “pulang kandang”, kembali ke dalam kampus. Organ-organ mahasiswa “legal” yang terlepas haruslah diambil alih , bagaimanapun ini akan sangat efektif paling tidak untuk  rekruitmen calon kader-kader revolusioner, propaganda ide-ide progresif dan mempengaruhi opini umum mahasiswa. Adalah menarik, pengalaman gerakan mahasiswa Korsel ketika mulai membangun basis massa di kampus:
Mereka yang terlibat dalam gerakan mahasiswa membangun organisasi di universitas-universitas. Mereka menguasai komite-komite mahasiswa dan departemen-departemen penting lainnya seperti produksi tivi universitas, agen koran universitas. Mereka memiliki kekuatan sebesar wewenang universitas. Banyak dari event-event penting diprogram  oleh mereka dan program-program tersebut kebanyakan mengajarkan keyakinan atau Marxisme, nasionalisme dan  anti imperialisme…[58]
Dalam tingkatan organisasi, gerakan mahasiswa ’98 masih terpecah-pecah dalam komite-komite lokal, secara nasional belum ada organ mahasiswa nasional. Inilah yang mempersulit gerakan mahasiswa itu sendiri yaitu  tidak adanya kesatuan dalam gerakan Sehingga kebutuhan akan pentingnya organ nasional harus menjadi prioritas gerakan mahasiswa saat ini dan ke depan. Dengan adanya organ nasional – dengan bentuk yang lebih ketat –tentu akan mempermudah gerak dari gerakan mahasiswa itu sendiri. Program, strategi taktik dan aksi dapat dirumuskan dalam organ ini. Adanya organ nasional juga akan memudahkan membangun koalisi dengan sektor-sektor rakyat lainya, dengan demikian gerakan akan semakin kuat. Salah satu kelemahan tidak adanya organ nasional berdampak pada tidak adanya terbitan gerakan mahasiswa tingkat nasional, padahal ini sangat vital. Terbitan  bisa mempunyai peran yang sangat penting bagi suatu gerakan. Pertama, terbitan merupakan arahan ideologi bagi gerakan itu sendiri. Dengan wilayah geografis yang luas seperti Indonesia ini, hanya terbitan yang akan mampu menerobos “pojok-pojok” negeri ini, hanya terbitan yang bisa memberikan “arahan massa” tentang ideologi. Kedua, terbitan juga berfungsi sebagai alat pendidikan bagi aktivis mahasiswa sendiri. Mengingat luas daerah dan minimnya tenaga-tenaga “pendidik”, maka fungsinya dapat digantikan oleh terbitan, karena didalam terbitan sendiri ada arahan ideologi, politik maupun organisasi. Ketiga, ini fungsi yang tidak kalah penting, terbitan sebagai alat pengorganisasian, terbitan sebagai alat mengkonsolidasikan baik massa mahasiswa maupun massa rakyat. Perkembangan organisasi sendiri akan jelas terlihat dengan naiknya oplah dari terbitan itu.  Berapa terbitan yang mampu terdistribusi, itulah jumlah massa yang mampu kita konsolidasikan dan mampu kita berikan arahan.
Sementara ditingkat lokal kampus perlu dibentuk organ sektor kampus. Organ-organ ini berfungsi untuk mengangkat isu-isu kampus yang tentunya akan terus berkembang bersamaan dengan “mewabahnya” neo-liberalisme. Persoalan-persoalan “swastanisasi” kampus, otonomi kampus, merupakan persoalan-persoalan yang akan segera muncul. Oleh sebab itu persoalan-persoalan ini harus cepat diantisipasi dengan mempersiapkan “wadah perlawanannya”. Organ sektor kampus ini juga untuk menjembatani antara tuntutan “ekonomis” mahasiswa dan tuntutan “politis” dari gerakan mahasiswa yang sudah maju, dan juga agar gerakan menjadi populis didalam lingkungan mahasiswa sendiri.
Mengapa disini kita memilih organisasi revolusioner, bukan bentuk organisasi-organisasi yang lain?
Perjuangan yang terorganisir menuntut pemahaman ideologis, artinya harus dilakukan secara sadar, untuk apa perjuangan dilakukan.
Penaklukan ideologis ini berarti bahwa pembebasan manusia harus diarahkan pada usaha yang sadar untuk merombak tatanan masyarakat, untuk mengatasi sebuah keadaan dimana manusia didominasi oleh kekuatan pasar yang buta dan mulai menggurat nasib dengan tangannya sendiri.[59]
Dari pemahaman ini dan pemahaman sebelumnya, bahwa apa yang terjadi pada mahasiswa, alienasi (keterasingan) terhadap lingkungannya  – universitas – adalah akibat  sistem pendidikan kapitalis. Dengan demikian, perubahan yang ada harus revolusioner maka organisasi (alatnyapun) juga harus revolusioner.
Organisasi revolusioner adalah organisasi yang serius – artinya dengan disiplin dan mekanisme organisasi yang ketat -- dan permanen, bukan organisasi yang longgar dan temporer. Mengapa butuh organisasi yang serius dan permanen? Pertama, ini berhubungan dengan  keadaan mahasiswa sendiri. Kehidupan kemahasiswaan tidak berlangsung lama, paling empat sampai enam tahun.
Status kemahasiswaan hanya berlaku  untuk jangka waktu yang singkat[60], tidak seperti buruh. Ia menetap di universitas selama empat, lima, enam tahun dan tidak ada yang memperkirakan apa yang terjadi setelah ia meninggalkan universitas.

Secara sosiologis, keterbatasan kesempatan komunitas mahasiswa untuk menjadi kekuatan politik profesional yang sepenuhnya berkecimpung di dalam bidang politik, berpangkal pada statusnya yang bersifat sementara. Seorang  mahasiswa hanya  belajar dalam jangka waktu  antara 5 sampai 10 tahun.[61]

Setelah  meninggalkan universitas,  mereka tentunya akan memasuki lingkungan baru, dengan “suhu” dan “iklim” yang berbeda dengan yang ada di universitas. Bisa jadi ketika menjadi mahasiswa ia radikal atau militan, tapi setelah keluar dari universitas ia bisa berubah karena situasi dan kondisinya yang memang lain. Disinilah fungsi organisasi revolusioner yaitu untuk  “mengikat” dan menjaga aktivis mahasiswa agar tetap konsisten. Mungkin menarik gambaran berikut ini:
Penting untuk menjadi pelajaran sejarah SDS Jerman, yang dalam hal ini merupakan gerakan mahasiswa yang paling tua di Eropa. Setelah dikeluarkan dari kalangan sosial Demokrat Jerman sembilan tahun yang lalu satu generasi mahasiswa SDS meninggalkan universitas. Setelah beberapa tahun, dengan tidak adanya organisasi revolusioner, kebanyakan orang-orang militan ini, terlepas dari keinginan mereka untuk tetap teguh dan menjadi aktivis sosialis, tidak aktif dalam politik dari sudut pandang revolusioner.[62]

Jadi, sekali lagi fungsi organisasi revolusioner yang pertama adalah untuk menjaga kelanjutan aktivitas revolusioner, dimana mahasiswa dan bukan mahasiswa dapat bekerja sama. Lalu apa fungsi kedua?
Tentunya target mahasiswa untuk mengubah sistem tidak dapat dilakukan sendirian, paling tidak dia harus bekerjasama dengan kelas yang paling tertindas dalam sistem kapitalis ini, yaitu kaum buruh.
Mengapa gerakan mahasiswa perlu menggandeng kekuatan buruh:[63]
·         Secara ekonomis buruh dalam posisi yang strategis. Setiap pukulan dari buruh akan menjadi pukulan langsung pada sistem kapitalisme secara ekonomi maupun secara politik.
·         Secara kuantitatif mewakili mayoritas rakyat disetiap negara. Harus diakui jumlah mahasiswa minoritas, apalagi yang ikut dalam gerakan politik.
·         Buruh mempunyai tradisi perlawanan yang militan. Mogok buruh, aksi bakar diri merupakan contoh-contoh bentuk kemilitanan kaum buruh. Disamping itu buruh sudah menggunakan metode perjuangan yang radikal, yaitu aksi massa. Ernest Mandels menyatakan:

Sebagai Marxis, saya tetap yakin bahwa tanpa  aksi kelas buruh tidak mungkin masyarakat borjuis ini ditumbangkan dan itu berarti tidak mungkin juga dibangun masyarakat sosialis.[64]

Tidak akan cukup organisasi mahasiswa mewadahi untuk bisa bergabung dengan organisasi kelas pekerja, karena paling tidak ada “jurang pemisah” antara keduanya. Maka diperlukan “jembatan” untuk bisa menyatukan dengan perjuangan kelas pekerja.
Bagaimana mahasiswa dapat mendekati buruh, bukan sebagai guru, karena buruh tentunya menolak hubungan seperti itu, tapi dengan cara masuk ke dalam  lapangan kepentingan yang sama.[65]

Dengan adanya organisasi revolusioner diharapkan terjadi integrasi timbal balik antara antara perjuangan mahasiswa dan perjuangan buruh.  Integrasi ini akan terjadi kesatuan aksi antara keduanya.  Apakah hal ini mungkin?
Dari serangkaian fakta-fakta sejarah, bisa kita temukan kesatuan aksi antara gerakan mahasiswa dengan gerakan kelas buruh.
Kita  harus kritis melihat apakah integrasi semacam ini memeng mungkin secara obyektif. Melihat pengalaman di Prancis, Italia dan sejumlah negara Eropa barat lainnya, maka dengan mudah bisa kita bilang ya. Dan garis inipun dapat dipertahankan di Amerika Serikat.[66]

Fakta ini dapat kita lihat dari aksi-aksi mahasiswa di Korea Selatan. Tahun 1984 sekitar 4000 buruh perempuan pabrik tekstil YH menduduki kantor partai oposisi, Partai Keadilan Demokratik. Seorang buruh perempuan tewas disiksa oleh militer. Para mahasiswa di Korea bergabung dengan kaum buruh melakukan rally menuju gedung parlemen.
Kejadian serupa juga terjadi di Indonesia. Tanggal 15-23 Juli, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) melakukan aksi gabungan bersama 15.000 buruh GRI di Bogor. Pada tanggal 8 Juli di Surabaya, sekitar 20 ribu buruh yang merupakan gabungan dari 10 pabrik melakukan aksi bersama-sama SMID dan PPBI.
Disini dapat kita lihat, bahwa dengan adanya organisasi revolusioner yang permanen dan luas, akan bisa menghasilkan integrasi antara perjungan mahasiswa dan sektor tertindas lainnya. Inilah fungsi kedua dari organisasi revolusioner. Dengan adanya integrasi ini,  tentunya daya “pukul” gerakan perlawanan akan menjadi bertambah besar, sehingga akan mudah untuk merobohkan sang musuh. Adanya integrasi ini juga untuk mengikis watak-watak sektarian dari gerakan yang ada, karena gerakan yang sektarian tidak akan membawa keberhasilan.

V. Kapitalisme Negara Orde Baru Dan Gerakan Mahasiswa
Kapitalisme yang berkembang di Indonesia merupakan kapitalisme yang datang/dibawa/dicangkokkan[67] oleh kolonialisme. Hal ini selanjutnya mempengaruhi karakter dari kelas-kelas yang muncul (lebih khusus lagi kelas borjuasinya). Kekhususan ini menyebabkan banyak bermunculan sebutan-sebutan yang bermacam-macam sebagai hasil dari perilaku sosial-ekonomi, serta karakter politik mereka. Kelas borjuasi yang muncul banyak dianalisa, karena asumsi yang sifatnya mendasar bahwa kelas borjuasilah yang akan menjadi kekuatan utama pendorong demokrasi. Kelas inilah yang nantinya akan menjadi pemimpin dan pembela kepentingan dari seluruh golongan masyarakat dalam proses menuju terbentuknya masyarakat demokratis. Bagi penulis, ini hanya merupakan sebuah ilusi belaka. Dalam kenyataannya, asumsi bahwa kelas borjuasi akan menjadi kekuatan utama pendorong demokrasi merupakan asumsi yang sama sekali tidak membumi dalam sejarah kapitalisme di Indonesia. Lalu pertanyaan yang timbul: bila bukan borjuasi, maka kelas sosial manakah yang akan menjadi kekuatan pendorong demokrasi? Sehubungan dengan ini, penting sekali melihat sekilas teori tentang negara.
Dalam teori negara "klasik" dikatakan bahwa negara merupakan refleksi dari masyarakat, yang muncul sebagai produk dari takterdamaikannya kontradiksi kelas. Banyak yang mengeritik teori ini, yang semuanya menurut Cokro hanya "didasarkan atas logika sistem politik yang ada." Bahkan ia mengatakan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang paling dikuasai oleh kelas kapitalis, kelas yang berkuasa. Cokro,"Kediktatoran Kelas dan Asal Usul Pemerintahan Orde Baru, Progress (Australia, 1992).[68] Ia mencontohkan bila para "penguasa" mati, perusahaan-perusahaan (modal) yang ia miliki akan jatuh ke keluarganya bukan ke negara.. Ia meletakkan teori perjuangan kelas merupakan konteks terbaik dalam menganalisa negara Indonesia. Tetapi, minimal yang harus kita terima dari teori-teori negara adalah bahwa negara tidaklah netral, ia adalah penjaga dari sistem yang menguntungkan sebagian kecil dari masyarakat, sementara sebagian besar lainnya yang tidak berpunya hidup di bawah penindasan sistem kapitalisme ini. Kembali kepada teori negara klasik, negara merupakan alat dari kelas dominan/penguasa, yang dikendalikan secara langsung dan tidak langsung,  untuk menindas[69]. Alat (negara) mengesahkan penindasan dengan bantuan lembaga pemaksa yang paling utama yaitu: tentara, pengadilan dan penjara, sehingga apa yang disebut dengan negara kapitalis merupakan negara yang berfungsi sebagai alat untuk melipatgandakan modal.
Seperti telah dikatakan di atas bahwa kelas borjuasi atau kapitalis atau bahkan kelas menengah secara keseluruhan tidakakan menjadi kekuatan utama pendorong demokrasi di Indonesia, karena kebanyakan kelas borjuasi justru sering muncul (menyatu) dari dalam negara (ingat: negara indonesia adalah negara yangpaling dikuasai oleh kelas kapitalis!). Kelas kapitalis dan juga kelas menengah (borjuis kecil) bahkan menguatkan atau mendukung stabilitas ekonomi untuk proses pertumbuhan ekonomi kapitalistis melalui sistem politik yang anti-demokrasi. Jadi siapakah yang paling berkepentingan dan yang paling mampu menciptakan demokrasi di Indonesia? Tidak lain Gerakan Buruh beraliansi dengan Gerkan Mahasiswa (atau sektor rakyat lain dan pro-demokrasi).

VI. Gerakan Mahasiswa dan Gerakan Buruh: Gerakan Demokrasi
Gerakan Mahasiswa harus menyadari bahwa  tidaklah dapat mengharapkan kelas borjuasi atau kelas menengah.Yang dimaksudkan dengan kelas menengah di sini adalah para manajer, kaum profesional, teknokrat dan  juga  dari kaum  sekolahan/akademisi.  Kelas menengah bagaimanapun tidak akan menghasilkan kekuatan yang efektif di  orde  baru ini. Apalagi depolitisasi serta ketiadaan basis material mereka untuk merespon deregulasi dan liberalisasi  ekonomi  orde baru menyebabkan mereka cenderung untuk mundukung kekuasaan atau  paling  "mentok"  yang muncul  pada  kelas  menengah hanyalah rasa nasionalisme dan rasa humanisme  ketimbang  demokrasi.  Mereka mungkin saja  akan memainkan peranan efektif bila terjadi "perpecahan" diantara elit penguasa, tetapi  hal ini  adalah utopis belaka, karena biasanya perpecahan di tingkat elit akan benar-benar  menjadi  kenyataan bila ada gerakan dari bawah akan memainkan peranan utama dalam proses demokratisasi di Indonesia, sedangkan posisi kelas mahasiswa "tidak jelas" serta kenyataan historis gerakan mahasiswa dalam masa orde baru menunjukkan kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa gerakan mahasiswa tidak akan mempunyai kekuatan apa-apa bila tidak bersatu dengan kekuatan mayoritas lain yang ada di masyarakat. Namun, persoalannya ialah dengan siapakah kita –gerakan mahasiswa-harus bersatu dan bersama-sama berjuang menciptakan demokrasi di Indonesia?
Pada saat sekarang tuntutan terhadap liberalisasi dan demokratisasi kebanyakan dipimpin dari kaum intelektual maupun kaum profesional tertentu Mereka  ini terdiri banyak diwakili dari dunia profesi (LBH), kaum intelejensia, PSI (yang merupakan  wakil-wakil  dari  kaum  sosial-demokrat  Indonesia)   Petisi 50 dan Muslim  (ICMI  dan  NU  dengan  Abdurrahman Wahidnya)., tetapi mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mendesakkan tuntutan mereka terpenuhi. Dan mereka ini sebenarnya sangat lemah dan secara tak terelakkan mereka menjalankan politik aliansi dengan salah satu atau sejumlah faksi tertentu yang saling bertikai di kalangan elit di pemerintahan. Politik kolaborasi dengan penindas ini    tidak akan pernah menguntungkan kaum tertindas.
Maka hanya aliansi Gerakan Buruh-Tani-Mahasiswa (serta Kaum Miskin Kota dan kelompok progresif lainnya) yang akan menghantarkan rakyat Indonesia ke pintu gerbang demokrasi. Demokrasi politik tanpa campur tangan militer (dengan dicabutnya Dwi Fungsi TNI) dan demokrasi ekonomi dengan terjadinya keadilan dan pemerataan. Kepada pundak kaum progresiflah (mahasiswa dan partai pelopor) beban sejarah ini harus ditanggung dan dituntaskan.*****


Yogyakarta, 11 Desember 1999


Daftar Pustaka
·         Aspinal, Edward, The Indonesian Student Uprising of 1998, 1999
·         Budiman,Arief, “Mahasiswa Sebagai Intelegensia Muda”, Prisma,No.11 November 1976.
·         Gunn, Lain, “Mei ’68: Revolusi Perancis”, terjemahan, tanpa tahun.
·         Irwan, Alexander, Jejak-Jejak Krisis di Asia, Kanisius, Yogyakarta, 1999.
·         ISAI, Bayang-Bayang PKI, ISAI, Jakarta, 1995.
·         Jan, San Ming, Gerakan  Mahasiswa di Korea Selatan, terjemahan, 1999.
·         Lenin, “Membangun Kontak Mahasiswa dengan Kelas Pekerja” diterjemahkan dari “Establishing Contacts with The Working Class” dalam Lenin’s Student in Revolution, Moscow, 1982.
·         Madjid, “Sejarah Memberikan Kesimpulan, Pergerakan yang Merevolusionerkan”, Progres, No.3, Jilid 2, 1992.
·         Mandels, Ernest, “Gerakan Mahasiswa Revolusioner : Teori dan Praktek”, terjemahan, tanpa tahun.
·         Marlin, “Indonesia: Organizing the Mass Struggle for Real Democracy” wawancara dalam Links, No.9 (November 1997-Februaru 1998), hal 5-25.
·         Marx, Karl, “Manifesto of Communist Party”, dalam Marx-Engel Selected Work , Progress Publisher, Moscow, 1977.
·         Patria, Nezar, “ Memposisikan Kembali Gerakan Mahasiswa : Belajar dari Sejarah”, Yogyakarta, 1998.
·         Petras, James, “Kritik Kepada Kaum Post-Marxist” terjemahan dari “ Marxist Critique of Post Marxist”  Links , No.9 (November 1997-Februari1998), hal 27-48 .
·         Pratama,Endhiq, “Merenda Gerak Sejarah : Membangun Gerakan Mahasiswa Kerakyatan”, Yogyakarta, 1999.
·         PRD, Demi Demokrasi Partai Rakyat Demokratik Menolak Takluk, Jakarta, 1999.
·         Railond, Francois, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia : Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru, LP3ES, Jakarta, 1986.
·         Rajab,Suryadi A, “Panggung-Panggung Mitologi dalam Hegemoni Negara : Gerakan Mahasiswa dibawah Orde Baru”, dalam Prisma, No.10, 1991.
·         Sardo, Ki Joyo, “ Mahasiswa Non-Partisan Justru Diperalat”, dalam Pembebasan, No. 13, October, 1999.
·         Semaoen, “Gerakan Indonesia di Hindia Belanda”, Laporan pada sidang Komintern 1920-an.
·         Shiraishi, Takashi, Jaman Bergerak, PT Garfiti Pustaka, Jakarta, 1996.
·         Sujito, Arie, “SMPT : Lembaga Manajerial Mahasiswa”, dalam Bernas, 26 Desember 1996.
·         Supriyono, Daru, “Mampukah Mahasiswa Menuntaskan Revolusi Demokratik yang Terinterupsi”, Yogyakarta, 1999.


situs yang mungkin membantu :
http://blogeryishakkuradi@gmail.com,
https://www.youtube.com/channel/UCYhYZV9hTXYNxBkga9oalDg
Lain-Lain

·         Tempo, edisi 22-28 Desember 1998.
·         Pembebasan, No.11, Juni 1999
·         __________, No.12, Juli 1999


[1] Bdk. Suryadi A.Rajab,”Panggung-Panggung Mitologi dalam Hegemoni Negara : Gerakan Mahasiswa dibawah Orde Baru”, Prisma, No.10,1991.
[2] Keterangan berikut didasarkan pada makalah yang dibuat Nezar Patria , di Yogyakarta ,21 Agustus 1998, "Memposisikan Kembali Gerakan Mahasiswa : Belajar dari Sejarah" untuk keperluan OPSPEK UGM 1998.
[3] "Gerakan Indonesia di Hindia Belanda", Laporan oleh Kawan Semaoen  kepada sidang komintern.
[4] Ibid
[5] Uraian yang menarik dapat dibaca pada buku karangan Takashi Shiraishi, Jaman Bergerak, PT Grafiti Pustaka, Jakarta, 1996.
[6] Hal ini patut menjadi pelajaran bagi kelompok studi era 80-an yang manganggap kelompok diskusilah sebagai penyelesaian masalah ekonomi-politik Indonesia.
[7] Keterangan berikut juga diperoleh dari makalah pendidikan internal yang dibuat oleh SMID (Solidaritas Mahasiswa  Indonesia untuk Demokrasi), "Sejarah Gerakan Mahasiswa Indonesia", Yogyakarta, 1994.
[8] merekalah--kaum muda--yang berpartisipasi penuh dalam perjuangan bersenjata di Surabaya, 10 November 1945.
[9] Nezar, ibid.
[10] ibid.
[11] SMID, op.cit
[12] Data-data berikut diperoleh dari tulisan Endhiq Pratama, "Merenda Gerak Sejarah: Membangun Gerakan Mahasiswa Kerakyatan", Yogyakarta, 1999.
[13] Lihat Tim ISAI Bayang-Bayang  PKI, ISAI, Jakarta 1995.
[14] Lihat tulisan Edwad  Aspinal ,The Indonesia Student Uprising of 1998
[15] sangat perlu dicatat GM'66 berada dalam kondisi sosiologis yang tidak pernah mengolah massa, mengorganisir dan percaya pada potensi perubahan rakyat bawah. Mereka juga "suci" dari literatur-literatur progrsif. Sehingga tindakan politiknya cenderung elitis dan pragmatis. Dalam hal ini Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib yang menyadari kesalahan orientasi gerakan ini.
[16] Lihat Francois Railon, Politik dan Idiologi Mahasiswa Indonesia; Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974, LP3S, Jakarta, 1986.
[17] Lihat tulisan Bonar Tigor N tentang Gerakan Mahasiswa dalam Prisma, Juli 1996.
[18] Lihat tulisan Edwad  Aspinal ,The Indonesia Student Uprising of 1998.
[19] Francois Railond, op.cit.
[20] Endiq, op.cit, hal 2.
[21] Lihat wancara Marlin , “Indonesia : Organizing The Mass Struggle for Real Democracy”, dalam Links, No. 9 ( November 1997- Februari 1998), hal. 5-25.
[22] Lihan artikel Arie Sujito,”SMPT Lembaga Manajerial Mahasiswa”, Bernas, 26 Desember 1996.
[23] NKK/BKK secara resmi dimulai tanggal 19 April 1978 dan diakhiri oleh surat keputusan Mendikbud Fuad Hasan No.403/U/1990 tentang SMPT
[24] untuk kemudian cepat mengabdi pada kapitalis, menjadi salah satu sekrup bangunan kapitalisme
[25] Arie Sujito, “Mahasiswa Kini Tercerabut dari Akar Sosialnya”, Kedaulatan Rakyat, 19 Februari 1995.
[26] ibid
[27] aksi yang mereka lakukan dapat digolongkan karikatif semata.
[28] Bambang Isti Nugroho, seorang droup-out kelas 3 SMA, yang kemudian bekerja di fakultas MIPA UGM. Dia diadili karena memperdagangkan buku-buku Pramoedya Ananta Toer dan menyimpan buku-buku Pram, Marxim Gorky, Frans Magnis Suseno.
[29] Wawancara Marlin, LINK
[30] Endhiq, op.cit. hal 3.
[31] Lihat James Petras, Kritik Terhadap Kaum Post Marxis, terjemahan dari LINK “ Marxist Critique of Post-Marxists” , No. 9 (November 1997-Februari 1998), hal. 27-48.
[32] SMID, op.cit.
[33] Hal ini sejalan dengan ekspansi modal yang meluas yang back-up aparatus kekerasan sebagai penjaga sekaligus fasilitator jalan modal.
[34] Madjid,”Sejarah Memberikan Kesimpulan, Pergerakan yang Merevolusionerkan” dalam majalah Progress, no.3, Jilid 2, 1992, hal. 59.
[35] Dalam pilihan strategi dan isu misalnya , pada awal 1990-an tercatat 2 kubu yaitu FAMI (Font Aksi Mahasiswa Indonesia) yang berorientasi siu-isupolitik elit nasional dengan SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi ) yang mengankat isu-isu populis dan kerakyatan .
[36] Lihat buku,Demi Demokrasi, Partai Rakyat Demokratik Menolak Takluk, PRD, 1999.
[37] Ibid
[38] Revolusi demokratik bermakna peliberalan semua alat-alat politik, segala UU, peraturan, hukum, sistem, tata-cara  yang menindas agar terjamin kebebasan demokrasi politik  yang sepenuh-penuhnya.
[39] “Terinterupsi” berarti tertunda , istilah ini banyak dipakai oleh Gerakan Mahasiswa.
[40] Lihat Alexander Irwan, Jejak-Jejaj Krisis Asia, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1999.
[41] , Edward  Aspinal, The Indonesia Student Uprising of 1998.
[42] ibid
[43] Ibid
[44] Ibid
[45] Ibid
[46] Daru Supriyono, “ Mampukah Gerkan Mahasiswa Menuntaskan Revolusi Demokratik yang ‘Terinterupsi’ ?”, Yogyakarta, 1999.
[47] Idiologi yang demikian lemah dianggap pula sebagai ideologi “karbitan”.
[48] Lihat Arief Budiman, " Mahasiswa sebagai Kaum Intelegensia Muda" dalam Prisma, No.11, November 1976.
[49] Hal ini yang oleh Suryadi A.Rajab dilukiskan sebagai panggung (berupa mitos peran mahasiswa) tempat bermain mahasiswa sebatas yang diberikan oleh rejim. Lihat "panggung-Panggung Mitologi dalam Hegemoni Negara :  Gerakan Mahasiswa di bawah Orde Baru" dalam Prisma, No. 10, 1991.
[50] Lihat Tempo Edisi 22-28 Desember 1998
[51] Lihat tulisan Ki Joyo Sardo, "Mahasiswa Non-Partisan Justru Diperalat", dalam Pembebasan No.13, Oktober 1999.
[52] Lihat tulisan Lain Gunn, “Mei 68: Revolusi Prancis”,terjemahan,tanpa tahun.
[53]Ernest Mandels,” Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Praktek”, terjemahan, tanpa tahun.
[54] Ini terjadi pada masa pemerintahan Stalin. Stalin mengeluarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang “mematikan” sosialisme sendiri. Sosialis yang sebetulnya harus dipimpin oleh kelas pekerja diubah oleh Stalin menjadi negara birokrasi, dimana negara dipegang oleh “minoritas” yang mengatasnamakan buruh dan kemudian malah menindas buruh. Stalin juga mematikan “demokrasi rakyat” dan mengarahkan perjuangan internasionalisme menjadi perjuangan “nasionalisme sempit”. Bagimanapun Sosialisme tidak dapat dibangun tanpa “demokrasi” dan “solidaritas”.
[55]Min Sang Jan, Gerakan Mahasiswa di Korea Selatan, terjemahan,1999.
[56] “Membangun Kontak Mahasiswa Dengan Kelas Pekerja”, diterjemahkan dari teks aslinya yang berjudul “ Establising Contacs With the Working Class” dalam Lenin Student in Revolution, Moscow ;1982
[57] Endhiq, op cit.
[58] Gerakan Mahasiswa di Korea Selatan, Min Sang Jan.
[59] Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Pratek, Ernest Mandels
[60] apalagi ada pembatasan studi di semua universitas.
[61]  ibid.
[62] ibid
[63] Lihat Wilson,"Buruh dan Mahasiswa Bersatulah", makalah pendidikan PPBI (Pusat Perjuangan Buruh Indonesia), Jakarta, 1995.
[64] Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Pratek, Ernest Mandels
[65] Ibid
[66] Ibid
[67] lihat manifesto PRD, Menuju Demokrasi Multi-Partai Kerakyatan, Jakarta, 1996.
[68] Ditulis ulang dalam Pembebasan No11&12, Juni&Juli, Jakarta, 1999
[69] Karl Marx, Manifesto of The Communist Party, Marx-Engels Selected Work,Progress Publisher, Moscow,1977

Comments

Popular posts from this blog

Mars Untika Luwuk, Yel-Tel, Sumpah Mahasiswa, Universitas Tompotika Luwuk

Komponen Masyarakat

DAFTAR NAMA DESA & KELURAHAN PADA TIAP-TIAP KECAMATAN DI KABUPATEN BANGGAI PROVINSI SULAWESI TENGAH