Bangai mana, Politik Negara Jerman
POLITIK JERMAN
Jerman – Mitra di Dunia
ABAD KE-20 MEMBAWA PEROMBAKAN yang tiada
tara. Bekas yang dalam ditinggalkan oleh tiga konflik global – kedua perang
dunia dan Perang Dingin – dalam kehidupan negara-negara dan bangsa-bangsa. Hal
itu khususnya berlaku untuk Jerman yang letaknya di jantung Eropa. Di satu
pihak, karena Jerman sendiri bertanggung jawab atas peristiwa, seperti pecahnya
kedua perang dunia. Di pihak lain, karena Jerman dipengaruhi dengan sangat kuat
oleh dampak perkembangan yang berlangsung, seperti Perang Dingin dan awal
keruntuhan tata dunia bipolar pada akhir tahun 1980-an. Pada saat hancurnya
tata dunia yang lama, orang Jerman menghadapi situasi yang sama sekali baru di
bidang politik dalam dan luar negeri. Dalam hal ini bangsa Jerman mendapat
keuntungan dari dinamika politik yang berakhir dengan peleburan Uni Sovyet pada
tahun 1991. Sebab perkembangan tersebut tidak hanya membawa penyatuan kembali
kedua negara parsial Jerman, melainkan juga kedaulatan sepenuhnya yang telah
kehilangan sejak hampir setengah abad.
Bagi Jerman Bersatu ketika itu mulai suatu fase yang penuh tantangan luar biasa. Di satu pihak situasi baru di dalam negeri harus ditangani dengan baik, sedangkan bangsa Jerman pada waktu yang sama harus menyesuaikan diri dengan peran baru di gelanggang politik luar negeri. Justru karena Jerman telah mendapat keuntungan besar dari perkembangan global dan telah mencapai tujuannya dalam bentuk reunifikasi, harapan akan peransertanya besar juga. Hal itu berlaku untuk negaranegara yang telah bermitra dengan Jerman selama puluhan tahun, begitu juga untuk negara-negara yang sebelumnya termasuk Blok Timur, dan berlaku sepenuhnya juga untuk negara dan bangsa di hemisfer selatan bumi yang mengalami proses transformasi mendasar sejak fase akhir abad ke-20. Bukan hal kebetulan, kalau negara dan bangsa itu mengarahkan pandangan mereka ke Jerman, melainkan karena pantulan sejarah politik dunia: Karena Kerajaan Jerman telah kehilangan semua koloninya pada akhir Perang Dunia I, tidak ada bangsa di Asia, Afrika atau di kawasan Pasifik yang harus berjuang untuk merebut kemerdekaannya dari salah satu di antara kedua negara Jerman.
Bagi Jerman Bersatu ketika itu mulai suatu fase yang penuh tantangan luar biasa. Di satu pihak situasi baru di dalam negeri harus ditangani dengan baik, sedangkan bangsa Jerman pada waktu yang sama harus menyesuaikan diri dengan peran baru di gelanggang politik luar negeri. Justru karena Jerman telah mendapat keuntungan besar dari perkembangan global dan telah mencapai tujuannya dalam bentuk reunifikasi, harapan akan peransertanya besar juga. Hal itu berlaku untuk negaranegara yang telah bermitra dengan Jerman selama puluhan tahun, begitu juga untuk negara-negara yang sebelumnya termasuk Blok Timur, dan berlaku sepenuhnya juga untuk negara dan bangsa di hemisfer selatan bumi yang mengalami proses transformasi mendasar sejak fase akhir abad ke-20. Bukan hal kebetulan, kalau negara dan bangsa itu mengarahkan pandangan mereka ke Jerman, melainkan karena pantulan sejarah politik dunia: Karena Kerajaan Jerman telah kehilangan semua koloninya pada akhir Perang Dunia I, tidak ada bangsa di Asia, Afrika atau di kawasan Pasifik yang harus berjuang untuk merebut kemerdekaannya dari salah satu di antara kedua negara Jerman.
Pokok-Pokok Politik Luar Negeri Jerman
Begitulah riwayatnya Jerman Bersatu
tiba-tiba merasakan diri terlempar ke pusat percaturan politik dunia. Orientasi
baru yang dituntut pada waktu itu telah berhasil berkat adanya pokokpokok
politik luar negeri Jerman yang dikembangkan dan dikukuhkan sejak berdirinya
Republik Federal Jerman. Usaha semua pihak untuk bertemu dalam konsensus
politik luar negeri yang luas dan untuk menjaga kontinuitas tertentu telah
menjadi ciri khas budaya politik. Sejak masa jabatan Konrad Adenauer, Kanselir
Federal pertama, kontinuitas itu mencakup kemitraan transatlantik dan integrasi
Eropa, yaitu keinginan mencapai hubungan antartetangga yang baik – terutama
dengan Perancis, yang sudah diusahakan oleh politik luar negeri Jerman sejak
awal tahun lima puluhan – dan tidak kalah penting juga proses rekonsiliasi
dengan Israel yang sulit itu, yang dimulai sejak dini. Semua itu kedengaran
seperti hal yang terjadi dengan sendirinya. Namun dalam keadaan yang
dilatarbelakangi politik peperangan yang dilancarkan Jerman pada pertengahan
pertama abad ke-20 dan dalam situasi Perang Dingin, politik itu menghadapi
tantangan besar. Menjelang akhir tahun 60-an, khususnya sejak jabatan kanselir
dipegang oleh Willy Brandt (1969- 1974), orientasi ke Barat tersebut dilengkapi
dan dikembangkan terus melalui politik peredaan ketegangan dengan Polandia dan
dengan negara-negara lain di kawasan Eropa Timur dan bagian timur Eropa Tengah.
Dewasa ini Jerman berhubungan dengan Rusia dalam kemitraan strategis.
Namun dasar politik luar negeri Jerman yang telah dikembangkan oleh semua pemerintah federal ialah integrasi Jerman ke dalam struktur kerja sama multilateral di segala bidang. Segi positifnya, integrasi itu sesuai dengan sikap negaranegara tetangga; setelah dua kali mengalami perang dunia, mereka berkeinginan keras untuk mengintegrasi dan mengontrol orang Jerman supaya tidak bertindak sepihak lagi. Aspek lain yang mendukung kebijakan integrasi itu ialah kemauan masyarakat Jerman sendiri yang mendambakan perdamaian, keamanan, kesejahteraan dan demokrasi, dan yang menyadari bahwa integrasi negaranya menjadi prasyarat bagi reunifikasi Jerman.
Akhirnya sejarah membenarkan orang Jerman. Setelah berakhirnya konflik Timur-Barat dan semua pihak mencari pegangan dan orientasi, bukanlah hal kebetulan kalau justru orang Jerman memusatkan perhatian kepada organisasi internasional tertentu yang telah menjadi pegangan dan memberikan perspektif bagi Republik Federal yang “lama”. Hal itu berlaku baik untuk Uni Eropa (UE) dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), maupun untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa – sebagai tempat utama untuk pemecahan konflik – dan Konferensi Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (CSCE). Sifat semua organisasi tersebut memang ditandai oleh konflik Timur- Barat, jadi oleh era yang sementara itu sudah berlalu. Organisasi multilateral di dunia komunis dibubarkan pada tahun 1991, dan K3SE dileburkan ke dalam Organisasi Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE), sedangkan organisasi di Barat serta Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak berakhirnya Perang Dingin menghadapi persoalan reformasi yang bersifat kurang lebih tuntas.
Namun dasar politik luar negeri Jerman yang telah dikembangkan oleh semua pemerintah federal ialah integrasi Jerman ke dalam struktur kerja sama multilateral di segala bidang. Segi positifnya, integrasi itu sesuai dengan sikap negaranegara tetangga; setelah dua kali mengalami perang dunia, mereka berkeinginan keras untuk mengintegrasi dan mengontrol orang Jerman supaya tidak bertindak sepihak lagi. Aspek lain yang mendukung kebijakan integrasi itu ialah kemauan masyarakat Jerman sendiri yang mendambakan perdamaian, keamanan, kesejahteraan dan demokrasi, dan yang menyadari bahwa integrasi negaranya menjadi prasyarat bagi reunifikasi Jerman.
Akhirnya sejarah membenarkan orang Jerman. Setelah berakhirnya konflik Timur-Barat dan semua pihak mencari pegangan dan orientasi, bukanlah hal kebetulan kalau justru orang Jerman memusatkan perhatian kepada organisasi internasional tertentu yang telah menjadi pegangan dan memberikan perspektif bagi Republik Federal yang “lama”. Hal itu berlaku baik untuk Uni Eropa (UE) dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), maupun untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa – sebagai tempat utama untuk pemecahan konflik – dan Konferensi Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (CSCE). Sifat semua organisasi tersebut memang ditandai oleh konflik Timur- Barat, jadi oleh era yang sementara itu sudah berlalu. Organisasi multilateral di dunia komunis dibubarkan pada tahun 1991, dan K3SE dileburkan ke dalam Organisasi Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE), sedangkan organisasi di Barat serta Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak berakhirnya Perang Dingin menghadapi persoalan reformasi yang bersifat kurang lebih tuntas.
Comments
Post a Comment