Teori Refolusi Permanen, pandangan Marx (Revolusi Permanen)
Teori Revolusi Permanen
Dalam krisis politik di
Indonesia selama 4-5 tahun ini telah bermuncul perdebatan-perdebatan yang luas
dan kaya tentang strategi dan taktik mana yang bisa memajukan perjuangan rakyat
untuk melawan penindasan dan penghisapan. Di antaranya kita sering
memperdebatkan masalah revolusi; apakah sebuah revolusi diperlukan, dan apakah
sifat-sifat revolusi tersebut. Konsep yang paling umum di kalangan revolusioner
adalah strategi "revolusi demokratik" yang dianggap harus mendahului
revolusi sosialis, kadang-kadang dengan referensi tulisan Lenin "Dua
Taktik Sosial-Demokrasi Dalam Revolusi Demokratik".
Kami sudah menyinggung masalah
ini dalam teks "Dua Taktik Atau Strategi Sosialis Revolusioner" dan
dalam beberapa tulisan lain, tetapi belum secara menyeluruh. Sekarang kita
kembali ke topik tersebut dengan argumentasi lebih lanjut. Teks ini akan
mengulangi beberapa rumusan yang sudah dimuat dalam bahan lain, dengan konteks
yang sedikit berbeda.
Pandangan Marx tentang perkembangan revolusioner
Setiap perkembangan sosial
harus melalui berbagai tahapan. Sosialisme hanya mungkin berdasarkan
produktivas kerja yang tinggi, dan produktivitas tinggi tersebut adalah sebagai
akibat dari pertumbuhan ekonomi secara dahsyat yang dijalankan oleh
kapitalisme. Selain itu, kapitalisme menimbulkan kelas buruh, serta menerapkan
demokrasi parlementer dan menciptakan kondisi di mana kelas buruh itu bisa
berorganisir dan berjuang. Sehingga di tingkat global, umat manusia jelas harus
melewati tahap kapitalis (yang sekaligus merupakan tahap demokratis-borjuis)
sebelum masyarakat sosialis dapat tercapai.
Dalam karya Marx kita sering
mendapati asumsi bahwa revolusi sosialis harus didahului oleh revolusi borjuis,
yang juga disebut sebagai revolusi demokratik. Bukan karena sosialisme tidak
demokratik. Sebaliknya, sistem sosialis akan membawa demokrasi ke semua pelosok
masyarakat, terutama ke tempat kerja. Namun di masa Marx, penguasaan kelas
borjuis memang untuk pertama kalinya menimbulkan demokrasi (walau secara
terbatas). Di negeri seperti Inggeris dan Perancis demokrasi tersebut membuka
jalan untuk perkembangan gerakan buruh.
Seperti dijelaskan oleh John
Rees:
Sebelum pecahnya revolusi 1848, Marx dan Engels
telah jelas dalam dua hal. Yang pertama, bahwa revolusi yang akan datang adalah
revolusi borjuis yang akan bermuara pada suatu negara kapitalis, dengan harapan
negara itu akan mengambil bentuk dari sebuah republik demokratis. Yang kedua,
bahwa kaum borjuasi harus didorong kepada suatu penyelesaian yang menentukan
dengan sistem yang lama, karena pertumbuhan kekuatan dari kelas pekerja membuat
mereka takut bahwa mengobarkan kekuatan yang penuh dari revolusi akan menyapu
mereka ke pinggir bersama-sama dengan negara feodal. Untuk Marx dan Engels,
revolusi di Jerman akan "dilaksanakan di bawah kondisi peradaban Eropa
yang jauh lebih maju, dan dengan lebih banyak jumlah proletariat yang sudah
berkembang, daripada di Inggeris pada abad ke tujuh belas, dan Perancis pada
abad ke delapan belas" dan oleh karena itu akan menjadi "pembukaan
kepada revolusi proletariat yang akan menyusul sebentar lagi."
Dengan demikian di dalam tahap
awal revolusi, Marx dan Engels berjuang sebagai sayap yang paling kiri dari
revolusi demokratik. Tetapi Manifesto Komunis, yang ditulis sebelum pecahnya
revolusi, sudah menyerukan bahwa walaupun kelas buruh harus "berjuang
dengan kaum borjuis, selama mereka bertindak dalam cara yang revolusioner"
kaum sosialis harus juga "menanamkan kepada kelas buruh pengenalan
sejelas-jelasnya mengenai pertentangan yang antagonistik antara borjuasi dan
proletariat". Pendekatan Marx dan Engels pada saat permulaan revolusi
adalah "untuk memacu kaum borjuis dari basis kiri yang independen,
mengorganisir kelas bawah terpisah dari kaum borjuis untuk menyerang secara
serempak rezim yang lama, dan untuk menyiapkan blok proletariat, borjuis kecil
dan petani yang demokratis ini untuk melangkah secara sementara ke dalam
barisan pelopor, apabila kaum borjuis memberikan tanda-tanda ketakutannya,
dengan analogi pemerintahan Jacobin di Perancis pada tahun 1793-4."
Pendek kata: Marx dan Engels
mengharapkan revolusi borjuis-demokratik, sekaligus yang sama memperingatkan
kaum buruh agar mereka mengambil sikap independen dari kelas borjuis. Sikap
mereka itu berubah secara berarti ketika revolusi 1848 berkembang.
Selama tiga bulan pertama dari
revolusi Jerman, kelihatan seakan-akan kaum borjuis, walaupun kurang mantap,
dapat didorong ke dalam tindakan yang menentukan. Tetapi semakin lama revolusi
berlangsung, kaum borjuis menjadi semakin takut dan lumpuh. Pada hari-hari
bulan Juni semua kelas pengeksploitir, termasuk kaum borjuis dan sebagian besar
dari juru bicara mereka yang demokratis, berbaris di pihak yang reaksioner.
Marx dan Engels berkesimpulan bahwa hanya kelas yang dieksploitasi, kaum
pekerja dan petani, yang dapat mendorong revolusi ke depan. Seperti yang Marx
tulis dalam surat kabarnya, "Rheinische Zeitung", yang mana para
pendukung borjuisnya meninggalkannya, karena pendiriannya yang radikal:
"Kaum borjuasi Jerman
berkembang dengan begitu melempem, sangat kecut hati, dan sangat lamban,
sehingga merasa semakin terancam konfrontasi oleh kaum proletariat, dan segala
bagian dari masyarakat kota yang berhubungan dengan proletariat..., sementara
dirinya sedang mengancam konfrontasi dengan feodalisme dan absolutisme...Kaum
borjuasi Prussia adalah bukan, seperti kaum borjuasi Perancis di tahun 1789,
sebuah kelas yang mewakili keseluruhan dari masyarakat modern...Ia telah tenggelam
ke dalam tingkatan semacam kelas yang egois dan sempit (estate)...yang dari
permulaan cenderung mengkhianati rakyat..."
Dihadapkan dengan pengkhianatan
kaum borjuis yang jauh lebih besar dari yang mula-mula diperkirakan, Marx dan
Engels merubah analisis strategis mereka. Marx dan Engels sekarang
berkesimpulan bahwa aksi yang independen dari kelas pekerja, dan sebuah
pendirian yang lebih kritis mengenai isu-isu taktis dan juga teori, terhadap
kaum borjuasi demokrat, adalah essensial. Penjelasan Marx mengenai sikap para
pekerja kepada para demokrat adalah benar-benar relevan dengan situasi sekarang
di Indonesia, sehingga perlu untuk dikutip secara penuh:
Para pekerja "harus
mendorong usulan-usulan dari para demokrat kepada logika ekstrem mereka (kaum
demokrat akan, dalam segala hal, bertindak idengan cara yang reformis dan tidak
revolusioner) dan merubah usulan-usulan tersebut menjadi sebuah serangan
langsung kepada hak milik pribadi. Kalau, sebagai misal, kaum borjuasi kecil
mengusulkan pembelian perusahaan kereta api dan pabrik-pabrik, kaum pekerja
harus menuntut agar perusahaan kereta api dan pabrik-pabrik ini secara langsung
disita saja tanpa konpensasi sebagai milik dari kaum reaksioner. Kalau para
demokrat mengusulkan sebuah pajak proporsional, maka para pekerja harus
menuntut sebuah pajak progresif; kalau para demokrat mengusulkan suatu pajak
progresif yang moderat, maka para pekerja harus menuntut sebuah pajak yang mana
tarifnya begitu tinggi sehingga kapital yang besar akan hancur karenanya; kalau
para demokrat menuntut adanya pengaturan dari hutang-hutang negara, maka para
pekerja harus menuntut penghapusan hutang-hutang nasional. Tuntutan kaum
pekerja, dengan demikian harus meradikalisasi ukuran dan konsesi dari kaum
demokrat."
Marx dan Engels tidak lagi puas
dengan revolusi borjuis-demokratik. Mereka sudah mengajukan strategi
transisional, yang mendorong revolusi demokratik beralih ke arah revolusi
sosialis:
"Kaum pekerja
Jerman...harus memberikan kontribusi sepenuhnya untuk kemenangan akhir mereka
sendiri, dengan memperjelas apa kepentingan kelas mereka, dengan mengambil
posisi politik mereka yang independen secepatnya, dengan tidak membiarkan diri
mereka tersesat oleh omongan munafik kaum demokrat borjuis kecil yang dapat
membuat mereka meragukan pentingnya organisasi partai yang independen dari kaum
proletariat. Semboyan-tempur mereka haruslah: Revolusi Permanen." (Bahasa
Jermannya: Die Revolution in Permanenz.)
Lenin dan Trotsky dalam Revolusi Rusia
Dari argumentasi John Rees
berdasarkan kutipan dari Marx, kita melihat bahwa konsep revolusi permanen
tidak berasal dari Trotsky melainkan dari analisis Marx sendiri, berdasarkan
pengalaman revolusi tahun 1848.
Semenjak peristiwa-peristiwa
itu, umat manusia terus menyaksikan bahwa sistem kapitalis selalu berkembang
secara sangat tidak merata. Demokrasi parlementer dan kemakmuran (relatif) buat
kelas buruh di barat berjalan disamping penindasan imperialis, kediktatoran dan
kesengsaraan di banyak negeri lainnya. Para kapitalis menanam modal mereka di
negeri yang masih sedang berkembang seperti Indonesia, dan investasi itu telah
memunculkan kelas buruh secara luas, tetapi di saat yang sama mereka menopang
rezim-rezim represif.
Tapi disamping fenomena perkembangan
tidak merata, kita juga menyaksikan fenomena perkembangan gabungan.
Di tingkat global, kapitalisme sudah mencapai produktivitas kerja yang begitu
tinggi dan alat-alat produksi yang begitu canggih sehingga secara obyektif
sosialisme sudah mungkin diterapkan secara internasional. Namun di saat yang
sama, tidak sedikit negeri yang masih hidup melarat -- dan bahkan di barat
tidak sedikit buruh yang juga hidup miskin. Dan unsur-unsur ilmu, tehnologi dan
budaya dari barat masuk dunia ketiga secara terus-menerus, seperti internet
misalnya.
Pada awal abad XX sebuah
perkembangan yang kontradiktif semacam ini makin marak dalam kasus Rusia.
Investasi dari luar menciptakan industri modern di beberapa tempat, terutama di
ibukota Petrograd dan kota Moskow. Bahkan beberapa pabrik di sana lebih besar
dan modern daripada banyak pabrik di barat, karena lebih baru dibangun. Dan
kelas buruh di Rusia sempat belajar Marxisme dari sumber barat sehingga kaum
buruh di Rusia tergolong yang paling sadar dan militan di seluruh dunia. Namun
di samping unsur-unsur modern ini ada juga unsur-unsur feodal. Negara
birokratik feodalis mencekik perekonomian dan masyarakat madani. Tuan tanah
masih kuat, dan yang lebih celaka lagi, banyak wiraswastawan kapitalis harus
meminjam modal dari tuan tanah sehingga bergantung kepada mereka, di samping
ketergantungan pada sumber modal asing. Makanya kelas buruh yang agak modern
dan sangat berpotensi untuk menghadapi kelas borjuis yang lemah dan pengecut, seperti
kaum borjuis Jerman yang dilukiskan oleh Marx dan Engels pada tahun 1848.
Warga Rusia kebanyakan petani.
Mereka menginginkan tanah. Melalui reform agraria yang seharusnya menjadi
tujuan klasik dari revolusi borjuis-demokratik. Namun borjuasi sendiri tidak
bisa diandalkan untuk melakukan reform semacam itu, karena justeru bergantung
pada tuan-tuan tanah sebagai sumber modal.
Hampir semua orang sosialis di
Rusia mengembangkan strategi tahapan, bahwa Rusia masih feodal dan belum
membangun sistem kapitalis, oleh karena itu revolusi yang mereka cita-citakan
harus menjadi revolusi demokratis bukan sosialis. Tetapi terdapat banyak
perbedaan pendapat tentang strategi persis yang harus dijalankan. Kelompok
Menshevik cenderung menyerahkan peran pemimpin dalam revolusi kepada pihak
borjuis. Kelompok Bolsehvik mengajukan pendekatan yang lebih radikal: bahwa
revolusi borjuis-demokratis tidak bisa dipimpin oleh borjuasi sendiri karena
kelas kapitalis di Rusia terlalu lemah dan pengecut. Menurut mereka,
kelas-kelas tertindaslah yang harus melakukan revolusi. Sehingga Lenin
menajukan slogan: "diktatur demokratis-revolusioner kaum proletariat dan
kaum tani" dan kedua kelas itu jelas akan menerapkan reformasi yang sangat
luas (seperti "reformasi total" di Indonesia sekarang ini). Walaupun
begitu, menurut Lenin revolusi yang radikal ini masih akan tetap bertahan dalam
batasan kapitalis dan akan membuka jalan untuk perkembangan kapitalisme
bertahun-tahun.
Dalam tulisannya "Dua
Taktik Sosial-Demokrasi di dalam Revolusi Demokratik" Lenin mengutuk
sebagai "reaksioner" segala upaya untuk "mencari keselamatan
kelas buruh selain melewati perkembangan lebih lanjut dari kapitalisme."
Menurut dia (waktu itu) "Kaum Marxis yakin sekali bahwa revolusi Rusia
harus bersifat borjuis. Artinya apa? Bahwa tuntutan-tuntutan demokratik
implikasinya tidak merongrong kapitalisme atau merongrong kekuasaan borjuis;
sebaliknya, mereka akan untuk pertama kalinya memberi jalan bagi borjuasi untuk
... menjadi kelas penguasa."
Tak pelak lagi bahwa yang dimaksudkan
di sini adalah tahapan historis yang cukup panjang. Lenin tidak mengharapkan
revolusi sosialis di Rusia sebelum terjadi perkembangan kapitalis yang luas.
Kedua pendekatan ini memusatkan
perhatian terutama kepada perkembangan kapitalisme di dalam Rusia, di mana mode
produksi kapitalis memang belum matang (secara keseluruhan). Hanya Trotsky yang
mendesakkan cakrawala berpikir secara lebih luas dan yang betul-betul menyimak
keadaan Rusia dalam konteks internasional. Berdasarkan pengalaman konkrit dalam
revolusi tahun 1905 (di mana Trotsky muncul sebagai ketua dewan buruh di
ibukota dan pemimpin terkemuka kelas buruh) dia melihat bahwa kelas buruh di
Rusia sudah sangat maju organisasi dan kesadarannya karena dampak pertumbuhan
industri (yang didorong oleh investasi asing) dan dampak teori Marxisme (yang
juga berasal dari luar negeri). Sedangkan kelas borjuis sangat lemah dan
pengecut (juga karena faktor internasional, yaitu mereka sangat bergantung pada
modal asing). Sehingga kaum buruh dengan dukungan kaum tani memang harus
merebut kekuasaan sendiri melalui jalan revolusi, seperti dikatakan Lenin.
Tetapi setelah kelas buruh mulai berkuasa mereka tidak mungkin bisa merasa puas
dengan reformasi yang masih dalam kerangka kapitalis, melainkan mereka pasti
akan mengadakan perubahan yang mengarah ke sosialisme.
Apakah sosialisme itu bisa
dibangun dalam sebuah negeri seperti Rusia, yang industri dan tatatan sosialnya
masih separuh feodal? Menurut Trosky memang bisa, tapi dengan satu syarat yang
sangatlah penting: revolusi harus meluas ke negeri-negeri barat supaya kelas
buruh di barat bisa menolong kaum buruh Rusia untuk menjalankan sosialisme.
Persilihan antara para anggota
Menshevik, Bolshevik dan Trotsky bertahan sampai di awal revolusi tahun 1917.
Pada bulan Februari sebuah pemberontakan kelas buruh menjatuhkan Tsar dan
menyalakan krisis politik yang menonjolkan beberapa sifat yang mirip dengan
situasi di Indonesia saat ini. Yaitu kepala negara ditumbangkan, tetapi disusul
oleh sebuah pemerintahan yang masih reaksioner walau berpura-pura demokratis.
Setelah tumbangnya Tsar, ketiga teori tentang jalannya revolusi teruji dalam
praktek. Kelompok Menshevik terus mengajukan strategi tahapan, bahwa kaum
borjuislah yang harus memimpin revolusi. Sehingga mereka bersedia untuk
mentolerir keberadaan pemerintahan transisi, walau dengan menuntut
dilangsungkannya pemilu dan beberapa reform.
Sikap kelompok Bolshevik
ternyata hampir sama. Saat itu Lenin belum kembali dari pengasingan, dan partai
Bolshevik dipimpin oleh orang lain seperti Stalin. Mereka juga terus
mempertahankan strategi tahapan, dengan menganggap revolusi yang tengah
berjalan adalah revolusi demokratis saja. Sehingga para pimpinan Bolshevik itu
mulai merenungkan apakah harus bersatu dengan partai Menshevik.
Pada bulan April Lenin akhirnya
berhasil pulang ke Petrograd. Dan golongan Bolshevik sangat terperangah
mendengar pendapatnya tentang apa yang harus dilakukan. Dalam beberapa surat
dari luar negeri ("Surat-surat dari Jauh") Lenin sudah mendesak agar
kelas buruh harus mempersiapkan diri untuk merebut kekuasaan. Setibanya di
Rusia, Lenin disambut oleh para pemimpan Bolsehevik setempat tidak hanya dengan
salam hangat, tetapi juga dengan kerisauan yang besar. Para pemimpin Bolsehvik
itu tampil berbicara dengan mengucapkan selamat datang, kemudian segera
memperingatkan bahwa revolusi di Rusia adalah revolusi demokratis saja. Lenin
saat itu sedang berdiri di atas sebuah balkon. Lenin tidak membalas komentar
mereka sama sekali, malahan dia berpaling kepada massa buruh dan
prajurit-prajurit yang berdiri di halaman di luar gedung, dan segera
melontarkan argumentasi bahwa mereka harus mempersiapkan diri untuk mengambil
alih kekuasaan dengan slogan "Semua kekuasaan kepada soviet (dewan-dewan
buruh)".
Karena argumentasinya, Lenin
dituduh menjadi "Trotskis". Tetapi secara lambat-laun dia berhasil
meyakinkan para kader Bolshevik. Begitu Trotsky sendiri balik ke Petrograd, dia
segera diundang untuk bergabung dalam partai Bolsehvik. Dan kedua tokoh
terkenal itu bersekutu erat dalam sebuah revolusi yang betul-betul menempuh
jalan sosialis.
Argumentasi Lenin itu
dirumuskan secara ringkas dalam "Tesis-tesis April" yang menjadi
sebuah dokumen historis dalam sejarah revolusi. Tulisan pendek ini merupakan
pembetulan yang penting terhadap argumentasi lama yang dimuat dalam "Dua
Taktik". Walau Lenin masih memakai istilah "tahap pertama" dan
"tahap kedua", implikasinya jauh berbeda:
Sifat utama situasi Rusia saat ini adalah bahwa
negara ini sedang beralih dari tahapan pertama revolusi -- yang, disebabkan
oleh kurangnya kesadaran-kelas dan organisasi kaum proletariat, telah
menempatkan kekuasaan di tangan kaum borjuis -- menuju tahapannya yang kedua,
yang harus menempatkan kekuasaan di tangan kaum proletariat dan
golongan-golongan termiskin kaum tani.
Revolusi memang sedang melalui
dua tahapan, tetapi peralihannya ke tahapan sosialis sudah mulai dalam kurun
waktu beberapa bulan. Tahap demokratis tidak lagi dianggap berkaitan dengan
tahap panjang kapitalis yang tak terhindari. Sebaliknya, tahap demokratis ini
hanya terpisah dari tahap sosialis karena "kurangnya kesadaran-kelas dan
organisasi kaum proletariat" - yang sebagian besar tentunya disebabkan
oleh kesalahan kaum revolusioner dengan strategi "dua taktik" mereka.
Inilah yang memungkinkan para liberal borjuis untuk mengambil alih kekuasaan.
Seandainya Partai Bolshevik memiliki strategi yang lebih tepat, akibat buruk
itu bisa dihindari.
Lenin menegaskan pendapatnya
ini dengan amat jelas. Dalam sebuah diskusi dia bertanya kepada para Bolshevik:
"Kenapa kalian tidak merebut kekuasaan [pada bulan Februari]?" Ketika
mereka menjawab dengan rumusan tradisional mengenai ""tahap pertama
... tahap demokratis", Lenin membalas dengan ketus: "Ini omong
kosong. Sebabnya karena proletariat masih kurang sadar dan kurang terorganisir.
Itu harus kita akui. Kekuataan materiil sudah berada di tangan proletariaat
saat itu, tetapi borjuasilah yang sudah sadar dan siap. Itu kenyataan yang
mengerikan. Fakta ini harus kita akui secara tulus, dan kita mesti menjelaskan
kepada rakyat dengan terus-terang bahwa kita tidak merebut kekusaan karena tak
terorganisir dan tak sadar."
Yang harus diperjuangkan
"bukanlah sebuah republik parlementer -- untuk kembali dari soviet-soviet
(dewan-dewan buruh) ke sebuah republik parlementer akan merupakan sebuah
langkah mundur yang buruk -- melainkan sebuah republik Soviet..." dan ini
memang menjadi semboyan utama Partai Bolshevik menjelang Oktober.
Oktober 1917: Revolusi macam apa?
Tak pelak lagi bahwa secara
garis besar, revolusi sosialis Oktober 1917 membenarkan teori Revolusi
Permanen. Namun baru-baru ini muncul argumentasi baru dalam buku Doug Lorimer
berjudul "Trotsky's Theory of Revolution: A Leninist Critique". Dalam
buku tersebut Doug Lorimer berusaha menyelamatkan teori tahapan dengan
beragumen bahwa Revolusi Oktober bukan revolusi sosialis melainkan revolusi
demokratik, karena sampai bulan Oktober 1918 kaum tani masih menuntut
bidang-bidang tanah swasta. Trotsky juga dituduh kurang memperhatikan peranan
kelas petani dalam revolusi.
Ini tidak benar. Dalam tulisan
utamanya tentang revolusi permanen Trotsky menulis:
Proletariat yang berkuasa akan berdiri di depan
kaum tani sebagai pembebas. Dominasi kaum proletariat akan berarti bukan hanya
persamaan hak demokratik, pemerintahan bebas, peralihan seluruh beban
perpajakan ke bahu kelas-kelas kaya ... tetapi juga pengakuan akan semua
pengambil-alihan tanah yang dilakukan kaum tani. Proletariat akan membuat
perubahan itu sebagai landasan untuk langkah-langkah lebih lanjut yang akan
dilakukan oleh negara di bidang pertanian. Dalam keadaan semacam ini kaum tani
Rusia, dalam periode pertama revolusi yang paling sulit, akan berkepentingan
untuk mempertahankan rezim proletarian ...
Trotsky memang berpendapat
bahwa kelas petani tidak bisa memainkan peranan *independen*. Dalam hal ini dia
sependapat dengan Marx dan Engels. Kaum tani selalu dipimpin oleh unsur-unsur
urban. Bahkan dalam revolusi Maois di Cina, yang biasanya dianggap sebagai "revolusi
petani", sebenarnya yang menjadi kelas penguasa baru adalah unsur-unsur
urban. Dalam revolusi Oktober di Rusia kaum tani dipimpin oleh kelas buruh,
yang mendominasi soviet-soviet (dewan-dewan revolusioner).
Trotsky juga berpendapat bahwa
kelas petani tidak bisa diandalkan secara keseluruhan, melainkan kaum
buruh harus terutama berupaya untuk mengambil hati unsur-unsur proletarian
(buruh tani, tani miskin) di pedesaan. Sedangkan Lenin (sebelum tahun 1917)
percaya, kelas petani sebagai kelas independen akan bersekutu dengan kelas
buruh. Doug Lorimer menganggap teori Lenin yang lama itu benar. Tapi teori ini
justeru ditinggalkan oleh Lenin sendiri dalam Tesis-tesis April yang senada
dengan pendapat Trotsky. Dalam tesis-tesis tersebut Lenin mengusulkan:
Nasionalisasi terhadap seluruh tanah di dalam
negeri, tanah harus diatur oleh Soviet-soviet lokal yang terdiri atas
Utusan-utusan Buruh Tani. [Kita memerlukan] organisasi terpisah Soviets yang
terdiri atas Utusan-utusan Tani Miskin.
Doug Lorimer menuduh Trotsky
meremehkan kelas petani, dan Doug Lorimer mengutip sebuah tulisan di mana
Trotsky mengatakan, kelas petani akan "memalingkan wajahnya yang
bermusuhan kepada proletariat" karena dalam revolusi sosialis,
kolektivisme akan menjadi agenda utama dan kaum petani memiliki mentalitas
borjuis kecil. Sedangkan waktu Revolusi Oktober kaum Bolsyevik masih menjunjung
tinggi tuntutan kaum tani untuk mendapatkan bidang-bidang swasta. Sehingga
Revolusi Oktober (menurut Doug Lorimer) bukanlah sebuah revolusi sosialis
melainkan revolusi demokratik, dan baru beberapa waktu kemudian beralih ke
tahap sosialis.
Argumentasi ini membingungkan.
Tentu saja sebuah revolusi sosialis tidak akan menjungkirbalikkan semua tatanan
sosial dalam sekali pukul. Ini sudah jelas dalam Manifesto Komunis, di mana
Marx dan Engels menuliskan bahwa:
… langkah pertama dalam revolusi kelas buruh,
adalah mengangkat proletariat pada kedudukan kelas yang berkuasa, memenangkan
perjuangan demokrasi. Proletariat akan menggunakan kekuasaan politiknya untuk
merebut, selangkah demi selangkah, semua kapital dari borjuasi, memusatkan
semua perkakas produksi ke dalam tangan Negara, artinya, proletariat yang
terorganisasi sebagai kelas yang berkuasa; dan untuk meningkatkan jumlah
tenaga-tenaga produktif secepat mungkin.
"Selangkah demi
selangkah..." Untuk perubahan secara bertahap ini, Marx dan Engels
mengajukan 10 reform radikal yang belum merupakan program sosialis lengkap,
namun langkah-langkah ini jelas dimaksudkan sebagai tahap-tahap awal
transformasi sosialis. Jadi fakta bahwa revolusi Bolsyevik bermula dengan
langkah-langkah "transional" hanya membuktikan bahwa revolusi itu
konsisten dengan perkembangan revolusi sosialis yang diharapkan oleh Marx
sendiri.
Yang diramalkan Lenin pada
tahun 1905 dalam tulisan "Dua Taktik" bukanlah tahapan-tahapan
berukuran beberapa bulan melainkan sebuah tahapan historis. Dalam tulisan lama
itu cukup jelas bahwa Lenin meramalkan tahapan panjang -- antara revolusi
demokratik borjuis yang akan "memberi jalan bagi borjuasi untuk menjadi
kelas penguasa", dan revolusi sosialis yang baru mungkin berdasarkan
perkembangan kapitalis yang panjang. Sedangkan yang terjadi pada tahun
1917-1918 adalah peralihan cepat dan organik antara fase demokratik dan fase
sosialis, secara "permanen" (atau "tak terinterupsi" jika
kita memakai terminologi Lenin sendiri dalam pamfletnya "Revolusi Sosialis
dan Kautsky si Pengkhianat" yang terbit pada tahun 1918). Justeru inilah
yang diramalkan Trotsky. Dalam kurun waktu yang pendek, kolektivisasi memang menjadi
agenda utama di Rusia, dan ketegangan antara kelas buruh dan kelas petani
semakin meningkat. Sampai dalam perang sipil, sebagian besar dari kelas petani
memang "memalingkan wajahnya yang bermusuhan kepada proletariat".
Bagaimana menurut hemat para peserta
revolusi sendiri? Di sini kita mempunyai bukti yang luar biasa bernilai, dalam
buku seorang saksi mata, yaitu "Sepuluh Hari Yang Menggoncangkan
Dunia" (Ten Days That Shook the World) oleh John Reed. Menurut Lenin
sendiri (dalam kata pengantar yang ditulisnya untuk edisi pertama) buku ini
memberi "eksposisi yang benar dan hidup tentang peristiwa-peristiwa yang
begitu signifikan untuk mengerti apa sebenarnya Revolusi Proletarian dan
Diktatur Proletariat."
Kita mencatat: Lenin menyebut
"diktatur proletariat", bukan "diktatur demokratik kaum
proletariat dan kaum tani". Sekarang mari kita melihat isi dari
"eksposi yang benar" ini. Pas setelah pemberontakan yang mengambil
alih kekuasaan, Lenin tampil di soviet Petrograd:
Pukul 8:40 datangnya para presidium disinyalir
dengan gelombang sorak-sorai yang bergemuruh. Di antara mereka datang Lenin --
si Lenin yang besar ... Mata kecil Lenin berkedip sambil mengelilingi massa,
dia memegang pinggiran mimbar dan menunggu, tampaknya tidak menghiraukan
sorak-sorai gemuruh panjang selama beberapa menit. Ketika tepuk tangan
berhenti, dia mengatakan secara sederhana: 'Sekarang kita akan maju membangun
tatanan sosialis!' Dan sekali lagi didengar sorak sorai massa...
Sepuluh hari kemudian, di pertemuan Komite
Eksekutif Pusat Soviet Petrograd, Lenin mengatakan bahwa "Kita sudah
melepaskan belenggu kapitalisme". Kaum buruh sendiri memiliki harapan yang
sama: misalnya Konferensi Se-Rusia Komite-Komite Pabrik menyatakan dukungan
mereka terhadap soviet-soviet serta menegaskan:
Setelah membebaskan diri dari Tsarisme, kelas
buruh ingin melihat rezim demokratik berjaya di bidang kegiatan produktif. Ini
bisa diekspresikan dengan paling baik melalui kontrol kaum buruh atas produksi
industrial...
Demokrasi di tempat-tempat
kerja jelas memiliki implikasi sosialis.
Dan kaum tani? Walau harapan
mereka untuk jangka pendek memang diarahkan untuk membagi-bagi tanah, namun
mereka juga mengakui prinsip sosialis dalam revolusi. Kongres Petani di
pertengahan bulan November menyetujui sebuah resolusi dengan suara bulat bahwa
"persatuan bersahabat semua kaum pekerja dan tertindas ... akan
menkonsolidasi kekuasaan yang telah mereka menangkan ... dan menjamin
pencapaian perdamaian yang adil serta kemenangan sosialisme."
Kemenangan sosialisme!
Argumentasi Doug Lorimer tidak disokong fakta-fakta sejarah.
Bukti negatif: tragedi revolusi Cina tahun
1920-an.
Sejak wafatnya Lenin inti
pelajarannya terlupakan. Hal itu berkaitan dengan nasib revolusi di Rusia, yang
tidak berhasil meluas ke negeri-negeri yang lain, walau rezim Bolshevik serta
partai-partai Komunis di Eropa barat memang melakukan banyak upaya ke arah itu.
Sebagai akibatnya, rezim itu mengalami sebuah degenerasi yang parah, dan
kekuasaan demokratis kelas buruh diganti dengan sebuah diktatur birokratis yang
dipimpin oleh Stalin. Rezim Stalin pada gilirannya meninggalkan orientasi
internasionalis Lenin dan Trotsky, dan partai-partai Komunis di mancanegara
dijadikan alat pasif kebijakan luar negeri rezim Soviet. Sifat utama kebijakan
luar negeri itu adalah untuk mencari aliansi dengan negara-negara lain --
dengan rezim-rezim borjuis.
Maka Stalin menghidupkan
kembali strategi tahapan, namun dengan alasan baru: partai-partai Komunis
disuruh bersekutu dengan golongan borjuis tertentu (yang dianggap lebih
"demokratis" atau "progresif") demi kepentingan negara
Soviet itu. Strategi lama Lenin itu dimanfa'atkan Stalin untuk membenarkan
pendekatan yang sama sekali tidak revolusioner. Marxisme dan Leninisme telah
diganti dengan "Stalinisme" kontra-revolusioner. Dan karena citra
negara Rusia dan gerakan Komunis saat itu masih sangat tinggi, teori-teori
stalinis sayangnya juga sangat berpengaruh pada orang lain yang bukan
kontra-revolusioner.
Akibatnya tragis. Tahun 1927
terjadi pemberontakan kelas buruh di Cina, dan kaum buruh bersenjata di bawah
pimpinan Komunis berhasil merebut seluruh kota Shanghai dari tangan golongan
reaksioner. Tetapi mereka segera disuruh menyerahkan kekuasaan mereka kepada
pihak nasionalis (borjuis), dengan argumentasi "tahap demokratis
dulu". Begitu mereka menyerahkan senjata-senjata kepada pemimpin
nasionalis Ciang Kai-shek, kesatuan-kesatuan Komunis diserang dan dibantai oleh
pasukan nasionalis.
Hal yang mirip juga terjadi di
Spanyol pada tahun 1930-an, di Indonesia tahun 1965, dan di beberapa tempat
lain. (Lihat tulisan Tony Cliff, "Revolusi dan Kontrarevolusi".)
Revolusi permanen yang "terbelok"
Peristiwa tahun 1920-an di Cina
mengkonfirmasikan kebenaran argumentasi Trotskys waktu itu. Akan tetapi,
revolusi tahun 1949 juga melontarkan sejumlah masalah baru yang rumit. Teori
Trotsky (seperti pandangan semua kaum Marxis sebelum Perang Dunia II)
berdasarkan asumi bahwa kapitalisme tidak lagi mengandung potensi untuk
berkembang. Jika kelas buruh tidak berhasil menumbangkan sistem kapitalis, umat
manusia tidak bisa mengharapkan banyak kemajuan lagi. Di barat, ekonomi
kapitalis akan terus tersesat. Di dunia ketiga, kemerdekaan nasional untuk
rakyat-rakyat tertindas tidak bisa tercapai, masalah-masalah reform agraria
tidak bisa dipecahkan, dan pada umumnya tugas-tugas revolusi borjuis-demokratik
tidak bisa dilaksanakan. Ramalan-ramalan ini jelas terbukti salah.
Di Cina, sebuah revolusi memang
terjadi, tapi jangankan dipimpin kaum buruh, revolusi itu malah terjadi tanpa
partisipasi kelas buruh. Reform-reform agraria memang terjadi, dan Cina menjadi
merdeka. Revolusi Indonesia juga bisa melaksanakan sebagian dari apa yang
biasanya dianggap revolusi borjuis demokratik. Tapi revolusi-revolusi semacam
ini di dunia ketiga juga tidak dipimpin oleh kelas borjuis, melainkan oleh
unsur-unsur dari kelas menengah seperti kaum intelektual, perwira-perwira
militer, dan lain sebagainya.
Revolusi Indonesia tidak
dipimpin oleh kaum kapitalis, juga tidak dipimpin oleh kelas buruh, melainkan
oleh kaum terpelajar elit dan militer. Di masa paska revolusi, pemerintahan
berada di tangan klik-klik politikus bourjuis-kecil yang korup, dan
pemerintahan saat itu kurang stabil karena kelas kapitalis Indonesia terlalu
lemah. Strategi ekonomi yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk membangun
perusahaan-perusahaan pribumi yang tangguh (seperti program
"Benteng") hanya dipermainkan oleh faksi-faksi sempit di Jakarta guna
memperkaya diri sendiri. Akhirnya Soekarno memutuskan untuk menghilangkan
demokrasi parlementer serta menggunakan aparatus negara untuk mendorong
akumulasi modal. Perusahaan-perusahaan asing diambil alih, dan di bawah sistem
"Demokrasi Terpimpin" para perwira militer ikut mengelola
perusahaan-perusahaan tersebut. Partai-partai yang paling berasosiasi dengan pasar
bebas dan para pedagang pribumi (PSI dan Masyumi) dilarang, dan Soekarno
mengembar-gemborkan "Sosialisme ala Indonesia". Sebetulnya
"sosialisme" itu hanya semacam kapitalisme-negara.
(Meski begitu, PKI cenderung
mendukung Soekarno dan menaruh harapan pada Soekarno. Karena PKI, berdasarkan
strategi "revolusi demokratik", menganut front persatuan bersama
unsur-unsur borjuis yang dikira progresif. Akibatnya, militer semakin kuat dan
PKI kehilangan independensinya. Ketika militer menyerang pada tahun 1965, PKI
seperti lumpuh dan dihancurkan.)
Kapitalisme memang lemah di
dunia ketiga, sehingga kelompok-kelompok elit borjuis-kecil suka menggunakan
aparatus negara dan meminjam anasir-anasir dari sistem perencanaan ekonomi
Soviet demi kepentingan pembangunan nasional. Mereka juga suka memakai retorika
sosialis -- dan ini tampaknya logis, bukankah Uni Soviet itu memang dikira
"sosialis"? Di hadapan fenomena-fenomena ini, mayoritas kaum
pendukung Trotsky mengambil kesimpulan menjelang tahun 1950, bahwa revolusi di Cina
dan Vietnam merupakan semacam "revolusi permanen" walau dipimpin oleh
orang-orang non-trotskyis -- bahkan stalinis.
Tony Cliff putus dengan
pendekatan "ortodoks-trotskyis" itu dan merumuskan analisis baru,
yang disebutnya "deflected permanent revolution". Intinya adalah,
selama kelas buruh sendiri belum memiliki kesadaran revolusioner dan belum
membangung partai-partai revolusioner berbasis massa, revolusi-revolusi
anti-imperialis tidak bisa mencapai sosialisme. Tentu saja kita harus mendukung
semua perjuangan anti-imperialis, namun kita juga harus membedakan antara
revolusi nasional (seperti misalnya di Indonesia tahun 1940-an) yang mungkin
menggunakan retorika sosialis, dengan revolusi sosialis yang sebenarnya.
Revolusi permanen dalam konteks Indonesia modern
Dewasa ini para penganut strategi tahapan di
Indonesia bukanlah stalinis. Mereka adalah kawan-kawan revolusioner yang
bersungguh-sungguh ingin memperjuangkan nasib rakyat dan kelas buruh. Tetapi
sudah saatnya untuk meninjau kembali masalah-masalah strategis ini dan
meninggalkan strategi tahapan yang telah menyebakan sejumlah kekalahan yang
mengerikan.
Setiap proses revolusioner
jelas berbeda, dan setiap revolusi akan melalui sejumlah tahapan. Pertanyaan
yang kontroversial di sini adalah: apakah selalu harus ada dua tahapan yang
tetap dan terpisah, atau sebuah proses berkesinambungan yang berkembang secara
terus-menerus.
Pendapat bahwa setiap revolusi
di dunia ketiga harus melalui dua tahapan yang tetap, sering berdasarkan
wawasan bahwa perkembangan kapitalisme tidak merata. Negeri-negeri barat
ekonominya serta sistem politiknya relatif maju, sedangkan ekonomi di Indonesia
(umpamannya) masih melarat dan sistem politiknya korup. Perkembangan kapitalis
memang tidak merata. Namun seperti diungkapkan oleh Trotsky dalam konteks Rusia
masa lampau, wawasan tentang perkembangan tidak merata itu harus dilengkapi
dengan konsep *perkembangan gabungan*. Menurut Trotsky:
Para makhluk hidup, tentu saja
termasuk manusia, melalui tahapan-tahapan yang serupa sesuai dengan usia
mereka. Untuk seorang anak normal yang berusia 5 tahun kita temukan sebuah
korespondensi yang pasti antara berat badan, ukuran, dan organ-organ dalam.
Tetapi sama sekali lain dengan kesadaran manusia. Berlawanan dengan anatomi dan
fisiologi, psikologi -- baik individual ataupun kolektif-- dibedakan oleh
kapasitas penyerapan yang luar biasa, fleksibilitas dan elastisitas ... Psyche
yang absortif dan fleksibel ini menganugerahkan atas para "organisma"
sosial (lain daripada organisma nyata, yaitu biologis) sebuah variabilitas
struktur internal yang luar biasa, sebagai prasyarat yang diperlukan bagi
kemajuan sejarah. Dalam perkembangan bangsa-bangsa dan negara-negara, terutama
yang kapitalis, tidak ada kesamaan maupun keteraturan. Tahapan peradaban yang
berbeda, bahkan sama sekali berlawanan, saling mendekat dan bercampur baur
dalam kehidupan bangsa dan negara yang sama.
Jangan kita lupakan bahwa
keterbelakangan historis adalah sebuah konsep relatif. Di mana terdapat
negara-negara yang terbelakang dan juga negara-negara yang progresif, terdapat
pula saling mempengaruhi antara yang satu dengan lainnya; ada tekanan dari
negara-negara progresif terhadap negara-negara terbelakang, ada kebutuhan bagi
negara-negara terbelakang untuk menjajari negara-negara progresif, untuk
meminjam pengetahuan dan teknologi mereka, dan lain-lainnya. Dalam cara ini
muncullah tipe gabungan dari perkembangan: ciri-ciri keterbelakangan digabung
dengan kata terakhir dalam teknik dan pemikiran dunia. Akhirnya negara-negara
yang secara historis terbelakang, supaya lepas dari keterbelakangannya,
seringkali terpaksa mendahului negara lain.
Walau ekonomi Indonesia pada
umumnya melarat (di barat mana ada orang yang harus bekerja sebagai tukang
becak), namun ada juga unsur-unsur yang modern: pesawat terbang, TV satelit,
internet. Kedua fenomena ini bercampur baur pula: bukankah kita menyaksikan
becak-becak di jalanan di depan warung internet, pedagang kaki lima di depan
bandara? Walau demokrasi di Indonesia hanya bersifat demokrasi semu, namun
setidaknya aspirasi demokratik dipegang oleh ratusan ribu warga Indonesia yang
berani turun ke jalan untuk memperjuangkan demokrasi riil. Sedangkan di Amerika
Serikat kemarin-kemarin ini, kita saksikan kepasifan para pemilih di depan
gagalnya demokrasi dalam pemilihan presiden. Walau kelas buruh Indonesia masih
lemah organisasi dan kesadarannya, namun perjuangan kaum buruh itu cukup
eksplosif, sedangkan perjuangan buruh di barat seringkali berlangsung dalam
jalur tradisional yang didominasi oleh kaum pejabat serikat buruh yang
konservatif.
Kapitalisme di Indonesia masih
lemah. Fakta ini mengakibatkan konsekuensi negatif tetapi juga positif. Jika
disimak dari segi internasional, Indonesia merupakan mata yang terlemah dalam
rangkaian kapitalis. Menurut Lenin, dalam kasus revolusi Rusia, "rantai
putus pada sambungannya yang terlemah." Itu bisa terjadi di Indonesia
pula.
Jadi tidaklah benar bahwa
masyarakat Indonesia kurang "matang" untuk memperjuangkan sosialisme
dibandingkan dengan masyarakat barat. Kedua tipe masyarakat itu bersifat
kontradiktif. Kontradiksi di dalam masyarakat Indonesia sudah menghasilkan
sebuah gerakan mahasiswa yang menggoncangkan rezim Orde Baru. Kontradiksi itu
juga membuka peluang untuk memasukkan unsur-unsur sosialis di dalam perjuangan
rakyat. Namun sayangnya pendekatan kebanyakan kaum kiri Indonesia, yang ngotot
pada konsep "revolusi demokratik dulu", cenderung menghalangi
penyuntikan tersebut.
Perbedaan pendapat antara
(misalnya) Suara Sosialis dan PRD mengenai rangka teoretis untuk dunia ketiga
pada umumnya. Logika teori dua tahapan yang diajukan oleh banyak kawan di
Indonesia kira-kira sebagai berikut:
Kita berada dalam sebuah negeri
yang belum demokratik, karena tugas-tugas revolusi borjuis belum diselesaikan.
Sebelum tugas-tugas itu
diselesaikan, kelas buruh belum bisa memperjuangkan sosialisme, karena militer
masih terlalu kuat dsb.
Maka kita harus membatasi
kegiatan kita dalam rangka perjuangan demokratik. Begitu demokrasi tercapai,
militer tidak lagi menjadi masalah. Dus menurut makalah kawan Wilson dari PRD
di seminar di Solo pada bulan April 1999 (dikutip dari versi tulisan):
"Ada beberapa hal yang positif bagi ABRI/TNI bila Dwi Fungsi dicabut,
yaitu ... ABRI/TNI tidak lagi akan berhadapan dengan rakyatnya sendiri karena
ia mengabdi pada golongan atau kekuasaan tertentu." [2] Implikasinya,
militer bisa bersikap netral dalam konflik sosial di bawah sistem kapitalis.
Jadi kita akan cenderung
mendukung para politikus borjuis-demokratik seperti Gus Dur. Itu sebabnya Ketua
PRD, Budiman Sudjatmiko, pernah bilang: "Waktu ketemu Gus Dur, saya
mengatakan mendukung pemerintahan Gus Dur". Menurut dia, Gus Dur dan Mega
"merupakan pemerintah legitimate karena terpilih secara lebih demokratis".
[3]
Artinya, kaum penganut stategi
dua tahapan selalu dalam bahaya kompromi dengan para "reformis
gadungan" bahkan dengan militer. (Bukan hanya PRD. Sebelum Lenin kembali
ke Rusia pada bulan April 1917, kelompok Bolsyevik cenderung mendukung pemerintahan
transisi dan mulai merenungkan apakah harus bersatu dengan kelompok Mensyevik.)
Yang berpegang pada fakta bahwa kaum "reformis gadungan" adalah musuh
bisa dituduh sebagai seorang "Trotskyis", seperti Lenin waktu itu,
dan kawan Muhammad Ma'ruf baru-baru ini. [4] Untunglah Lenin berhasil
meyakinkan para kader Bolsyevik bahwa mereka harus menempuh jalan
"revolusi tak terinterupsi" yang dalam praktek kurang-lebih sama
dengen pendekatan Trotsky. Dan Lenin mengajak Trotsky bersatu dengan partai
Bolsyevik.
Pada hemat kami:
Kita berada dalam masyarakat
kapitalis. Masyarakat itu memang tidak demokratik, karena kapitalisme hanya
menyajikan demokrasi semu. Tumbangnya Suharto memang harus diperjuangkan,
tetapi itu tidak cukup untuk menyelesaikan tugas-tugas demokrasi.
Demokrasi ala barat memang
merupakan cara penindasan yang lebih halus, tetapi penindasan yang halus itu
juga tidak mungkin di dunia ketiga, karena dunia ketiga tertindas oleh
imperialisme. Militer bisa saja duduk di barak selama kekuasaan kaum borjuis
tidak terancam, tapi militer itu akan segera bertindak jika perjuangan rakyat
terlalu efektif -- itu sudah kita saksikan di Chile pada tahun 1973. Sekarang
ini, militer Australia sedang diberikan kewenangan untuk memeriksa warga-warga
dalam kasus sipil tertentu.
Jadi tidak ada gunanya
mengharapkan suatu "revolusi demokratik" di dalam sistem kapitalis.
Perubahan-perubahan demokratik yang mungkin dalam rangka kapitalisme kebanyakan
sudah terjadi pada tahun 1998-1999. Yang beruntung terutama kaum "reformis
gadungan". Tentu saja kita belum mampu melakukan revolusi sosialis, maka
kita harus bertolak dari perjuangan demokratik dan normatif yang ada, tapi kita
harus berusaha memasukkan unsur-unsur sosialis ke dalam propaganda kita.
Sehingga kita tidak boleh
mendukung pemerintahan borjuis Gus Dur. Kita memang harus membela demokrasi
(semu) yang ada, karena di dalam ruang gerak itu kita bisa berjuang dengan
lebih efektif. Jadi, kalau militer mau melakukan kudeta, jelas kita melawan
kudeta tersebut. Seperti kaum Bolsyevik melawan kudeta Kornilov di tahun 1917.
Tetapi tanpa dukungan apapun terhadap Gus Dur sebagai politikus. Dan tanpa
memberikan "legitimasi" kepada dia.
Tampaknya golongan-golangan
kiri di Indonesia masih menonjolkan prasangka-prasangka buruk terhadap tradisi
Trotskyis dan rumusan-rumusan "revolusi permanen". Maka tidak perlu
kita ngotot pada istilah-istilah tertentu. Mari kita gunakan istilah
"revolusi tak terinterupsi" jika terminologi Lenin bisa lebih
diterima. Pokoknya, revolusi kita tidak boleh terinterupsi dengan suatu tahapan
"demokratik" yang hanya menguntungkan kaum borjuis.
Argumentasi ini tidak ada
sangkut-pautnya dengan ketidaksabaran, atau mentalitas ultra-kiri. Strategi
kami bisa saja diterapkan dengan cara-cara sabar dan taktik-taktik halus. Tentu
saja kita tidak bisa melakukan revolusi apa-apa dalam jangka pendek; yang
penting bagi kaum kiri adalah mengembangkan suatu *orientasi teoretis yang
tepat*. Tanpa orientasi yang benar, kaum kiri tidak bisa membangun suatu
gerakan revolusioner yang efektif.
Metode "transisional" dalam perjuangan
revolusioner
Bagaimana unsur-unsur sosialis
bisa disuntikkan ke dalam perjuangan demokratik dan normatif?
Pertanyaan ini penting, karena
di Indonesia saat ini, kita memang menghadapi sebuah dilema. Dari satu sisi,
Indonesia sudah menjadi masyarakat kapitalis, dan telah terjerumus ke dalam
krisis ekonomi yang khas kapitalis, sehingga secara obyektif sudah siap untuk
revolusi sosialis. Seharusnya kita tidak puas lagi dengan tuntutan minimal
tentang demokrasi liberal atau kenaikan upah. Namun di sisi lain, faktor
subyektif sangatlah lemah. Kelas buruh dan rakyat pada umumnya takut akan
istilah "sosialis" (sekaligus tidak mengerti apa itu sosialisme
sebenarnya) dan gerakan revolusioner masih kecil, sehingga untuk mendengungkan
slogan-slogan maksimal seperti "Sosialisme sekarang juga" tidak
efektif. Kita harus mencari sebuah "jembatan" antara kedua kubu ini,
dengan tuntutan-tuntutan transisional antara yang minimal dan yang maksimal.
Dalam revolusi di Rusia tahun
1917, kaum Bolshevik juga menaikkan slogan-slogan seperti "Peace, bread
and land" -- "Perdamaian [artinya: perang harus segera diselesaikan],
pangan, tanah". Sebuah tuntutan yang sangat konkrit dan bisa masuk akal
setiap buruh atau petani, karena mereka sangat menderita dalam perang, sangat
lapar, dan kaum tani sangat memerlukan tanah. Tetapi pemerintah borjuis tidak
bisa memenuhi tuntutan tersebut.
Di tahun 1930-an Trotsky
merumuskan Program Transisional, yang memang tidak sempurna -- dan para
pengikut Trotsky kadang-kadang memakai program itu dengan terlalu dogmatis.
Tetapi prinsipnya bagus. Sekali lagi kita mulai dari kepentingan konkrit massa
rakyat, sekaligus mencari, dalam kepentingan itu, unsur-unsur yang dari satu
segi tampaknya sangat logis untuk semua orang -- tetapi dari segi yang lain
tidak akan dan tidak bisa dipenuhi oleh sistem kapitalis. Kita berjuang bersama
massa untuk tuntutan itu. Mereka tidak mulai memperjuangkan tuntutan tersebut
karena mau menuju ke sosialisme. Mungkin mereka belum setuju dengan sosialisme
atau tidak tahu-menahu. Mereka berjuang demi kepentingan yang di depan mata.
Tetapi dari awal kita menjelaskan, bahwa hanya dengan sosialisme tuntutan itu
dapat tercapai. Dan dalam perjuangan bersama, kita mendiskusikan hal ini
berulang-ulang, sampai mereka melihat dari pengalaman praktis bahwa cita-cita
mereka tidak akan dipenuhi oleh Habibie ataupun Megawati, dan hanya bisa
tercapai dengan revolusi sosialis.
John Rees sudah memberikan satu
contoh dari slogan-slogan yang bisa dimajukan dalam konteks Indonesia:
Sebagai contoh, "Cabut Dwifungsi ABRI"
harus selalu dikombinasikan dengan slogan "Potong anggaran militer, beri
makan yang lapar". Slogan yang kedua tetap menjadi sebuah "tuntutan
yang demokratik" dalam beberapa hal, tetapi ia juga menaikkan isu-isu yang
spesifik terhadap kelas pekerja dan mengkombinasikan mereka dengan suatu
serangan terhadap negara, yang mana [para politisi liberal] akan enggan
mendukungnya.
Sebagai contoh lain, slogan
"Adili Suharto" telah digabungkan dengan slogan-slogan tambahan
seperti "Nasionalisi perusahaan Suharto dan kroni-kroninya." Ini
tampaknya logis dan rada moderat, tetapi sebetulnya kebanyakan perusahaan para
konglomerat adalah hasil KKN, sehingga tuntutan ini akan mengancam sistem
kapitalis. Namun kita tidak boleh puas hanya dengan langkah ke depan ini,
melainkan juga harus berusaha untuk terus meradikalisasi tuntuntan baru
tersebut, misalnya dengan menambahkan: "nasionalisasi di bawah pengelolaan
demokratis kaum pekerja." Rasanya ini bisa diterima oleh (paling tidak)
sebuah minoritas dari kaum aktivis buruh, karena sesuai dengan slogan
"demokrasi" yang ada di lidah setiap politisi serta birokrat dewasa
ini. Tetapi di saat yang sama, betul-betul mengarah ke revolusi sosialis.
Begitu mereka mengaku setuju dengan tuntutan tersebut, kita mulai menjelaskan
kepada mereka bahwa inilah yang dimaksudkan dengan istilah
"sosialis".
Makanya konsep-konsep
masyarakat sosialis juga bisa disosialisikan dengan cara ini.
Kalau kita berdiri di depan
gerbang pabrik dan meneriakkan semboyan-semboyan sosialis, jelas itu tidak ada
gunanya sama sekali, bahkan sebaliknya: kaum buruh bisa takut dan kita sendiri
bisa diciduk.
Tetapi kalau kita duduk-duduk
di warung bersama beberapa buruh, dan kita memulai perbincangan tentang
koperasi, mereka tidak akan takut. Koperasi adalah hal yang biasa saja, dan
dianggap bagus oleh semua orang, termasuk Amien Rais, Adi Sasono, bahkan
Habibie. Kenapa harus takut? Kemudian kita katakan: kalau koperasi itu bagus,
kenapa semua ekonomi nasional tidak bisa dirubah menjadi koperasi dalam skala
besar?
Bagaimana koperasi yang begitu
besar bisa dikelola? Di sini kita mulai sekali lagi dari konsep demokrasi yang
sangat populer itu. Mana ada politisi atau tokoh terkenal lainnya yang tidak
mengaku pro-demokrasi? Pemerintah nasional harus demokratis. Nah, kalau
pemerintah nasional (yang begitu besar dan luas) bisa menjadi demokratis,
kenapa ekonomi kooperatif itu tidak bisa menjadi demokratis pula?
Atau mungkin kita
berargumentasi begini: Tuntutun demokrasi adalah berkaitan erat dengan
pencabutan dwifungsi ABRI. Pemerintahan harus diambil dari tangan para
jenderal. Itu pendapat umum. Nah, prinsip itu kita kembangkan secara lebih
luas. Para jendral juga memiliki banyak perusahaan. Kepemilikan itu berasal
dari KKN. Sehingga logis saja kalau kita mentuntut agar perusahaan itu
dinasionalisasi dan menjadi BUMN, artinya menjadi bagian dari pemerintahan.
Terus argumentasi ini kita lanjutkan: jalan-jalan tol milik Tutut harus di
nasionalisasi, IPTN juga...; Sehingga banyak perusahaan yang harus menjadi
bagian dari pemerintahan. Tetapi pemerintahan harus demokratis, ya kan? Kalau
begitu, BUMN juga harus demokratis, karena kita semua setuju dengan prinsip
demokrasi. Demokrasi dalam sebuah perusahaan -- bentuknya bagaimaina? Ya, sebaiknya
para karyawanlah yang mengelola perusahaan itu secara demokratis, dengan
memilih orang-orang yang dipercaya untuk menjadi "manajer".
Dengan argumentasi semacam ini
kita bisa menjelaskan prinsip-prinsip sosialisme secara konkrit. Balasan para
aktivis buruh mungkin begini: "Idenya bagus, tapi pemerintah yang ada
tidak akan mentolerir perubahan seperti itu." Jawab kita: Ya, memang
betul. Itu sebabnya kita butuhkan sebuah partai politik kaum buruh yang
independen dan revolusioner.
Yang penting di sini bukan
rinci-rincinya. Mungkin ada tuntutan lain yang lebih efektif, itu terserah
kawan-kawan setempat. Yang penting adalah metodenya. Dalam setiap situasi, para
revolusioner harus mencari peluang untuk mengambil tuntutan dan keluhan yang
timbul secara spontan, dan melengkapi tuntutan-tuntutan tersebut dengan
unsur-unsur tambahan yang membawa perjuangan dan kesadaran kaum aktivis buruh
satu langkah ke depan.
Ke depan... tapi ke arah yang
mana? Dalam masyarakat ada bermacam-macam pendapat tentang jalan yang harus
ditempuh. Ini sebabnya diskusi sosialisme di dalam golongan revolusioner tidak
boleh ditunda. Metode transisional dan strategi "revolusi permanen"
memang berjalan setindak demi setindak, tapi dari awal menempuh jalan sosialis.
Catatan:
1.
Kami
tidak ingin mengkhususkan Partai Rakyat Demokratik. Argumentasi tentang
"revolusi demokratik" adalah sangat umum di kalangan kiri Indonesia.
Keunggulan PRD adalah bahwa organisasi itu telah merumuskan sebuah program
politik yang lengkap, sehingga argumentasi mereka bisa dikaji secara lebih
persis.
2.
Wilson
bin Nurtias, Mari Ciptakan Demokrasi Tanpa Dwi Fungsi ABRI, KPP PRD,
Jakarta, 26 April 1999.
3.
Bagus
Kurniawan, "Budiman Sudjatmiko Ingin Buat Poros Jakarta-Beijing", Detik.com,
4 Maret 2000..
4.
Lihat
tulisan Muhammad Ma'ruf (Aktivist Perhimpunan Demokratik Sosialis), Bahaya
Reformis Gadungan. Tulisan tersebut ditolak oleh para pemimpin PRD, dan
penulis dituduh sebagai seorang "Trotskyis". Beberapa bulan kelak,
Ma'ruf bersama sejumlah kader PRD lainnya dipecat dari kepemimpinan PRD dan
ikut mendirikan Perhimpunan Demokratik Sosialis.
situs yang mungkin membantu :
http://blogeryishakkuradi@gmail.com,
https://www.youtube.com/channel/UCYhYZV9hTXYNxBkga9oalDg
situs yang mungkin membantu :
http://blogeryishakkuradi@gmail.com,
https://www.youtube.com/channel/UCYhYZV9hTXYNxBkga9oalDg
Comments
Post a Comment